BULETIN NUSANTARA, JAKARTA – Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid Sa’adi berharap mahasiswa perguruan tinggi, terutama Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) bisa menjadi katalisator dan dinamisator dalam penguatan moderasi beragama.
Pesan ini disampaikan Wamenag saat menberikan sambutan pada pembukaan Kuliah Perdana Institut Agama Islam (IAI) As’adiyah, Sengkang Sulawesi Selatan, 19 September 2021.
“Perguruan Tinggi adalah lembaga akademis. Mahasiswa Perguruan Tinggi diharapkan menjadi katalisator sekaligus dinamisator yang mampu mengedukasi masyarakat dalam penguatan moderasi beragama,” terang Wamenag.
“Publik perlu mendapat pencerahan mengenai pentingnya untuk memiliki pemahaman adil dan seimbang, demi merawat keharmonisan masyarakat, dan relasi harmonis antara agama dan negara dalam konteks keindonesiaan,” sambungnya
Wamenag mengatakan, pemahaman keagamaan yang adil dan seimbang seharusnya lebih mudah hadir pada mereka yang berada dalam atmosfer lingkungan akademis. Sebab, lingkungan ini mengutamakan dialog inklusif dan terukur dalam menghadapi perbedaan.
“Mahasiswa mesti mampu merawat nilai-nilai yang merupakan hakikat agama dan ilmu pengetahuan. Yaitu, nilai-nilai yang sesungguhnya untuk kemanusiaan, dan untuk menjawab permasalahan kemanusiaan,” tuturnya.
“Dalam konteks moderasi beragama, nilai-nilai kemanusiaan itu termanifestasi pada komitmen kebangsaan, toleran, beragama tanpa kekerasan, dan menghormati kearifan lokal,” sambungnya.
Wamenag melihat saat ini ada kesalahpahaman sementara orang dalam memaknai tugas dakwah amar ma’ruf nahi munkar. Yakni, jika melaksanakan amar ma’ruf itu dengan cara yang lembut, bijak dan penuh kemadamaian, sementara jika melaksanakan nahyi munkar itu harus dengan cara-cara kekerasan. Hal tersebut tidak tepat dan tidak sesuai dengan akhlak Rasulullah.
Rasulullah, kata Wamenag, mengajarkan untuk melaksanakan amar ma’ruf nahyi munkar dengan penuh kebijakan, contoh yang baik dan berdiskusi dengan cara yang lebih baik. “Mengajak bukan mengejek, merangkul bukan memukul, ramah bukan marah-marah dan menasihati bukan memaki-maki. Sekarang ini banyak ahlul makky alias ahli maki-maki,” terangnya.
Kepada para mahasiswa, Wamenag berpesan tentang tiga hal ini agar mereka tidak mudah terbawa arus ekstremisme dan intoleransi. Pertama, mahasiswa tidak boleh kehilangan kemampuan untuk berpikir kritis. Sebab, sikap kritis adalah salah satu ciri khas insan akademik. Sikap ini melahirkan cara pandang yang terbuka (open minded)
Kedua, mahasiswa harus memiliki pemahaman tentang relatifitas kebenaran pandangan keagamaan. Sehingga tidak mudah terjebak pada klaim-klaim kebenaran yang cenderung mempersalahkan pandangan lain yang berbeda.
“Ketiga, carilah ilmu dari sumber yang otoritatif. Hal ini bisa dilihat dari sisi kualifikasi akademik dan sanad keilmuan. Mahasiswa agar tidak mencukupkan dirinya semata belajar dari Mbah Google,” tandasnya. (hud)