Harakah.id – Ramadan datang, hadis palsu bertebaran. Kurang lebih seperti itulah slogan yang pas untuk menggambarkan keadaan umat muslim saat menghadapi Ramadan. Banyak amalan yang dikerjakan demi memperoleh balasan-balasan berlipat namun ternyata telah jatuh dalam lubang fatal karena ber-istidlal dengan hadis palsu. 

Ramadan memang menjadi ladang luas untuk menyemai kebaikan. Kebaikan-kebaikan yang dikerjakan di bulan Ramadan akan dilipatgandakan oleh Allah Swt. Oleh sebab itulah Rasulullah Saw kerap menganjurkan para sahabatnya untuk meningkatkan amalan kebaikan di bulan Ramadan. Terlebih, ketika masuk sepuluh hari terakhir.

Rasulullah Saw bahkan mengencangkan sabuk sarungnya agar dapat kokoh berdiri dalam kekhusyukan shalat dan pengerjaan ibadah lainnya. Dari Aisyah yang berkata,

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ وَأَحْيَا لَيْلَهُ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ

“Nabi shallallahu alaihi wasallam bila memasuki sepuluh akhir (dari bulan Ramadan), Beliau mengencangkan sarung beliau, menghidupkan malamnya dengan beribadah dan membangunkan keluarga beliau”.

Yang menarik untuk dibahas adalah jikalau Ramadan memang ladang kebaikan untuk beribadah, lantas apakah dengan demikian tidur orang yang berpuasa di bulan Ramadan juga dapat dikatakan beribadah?

Nampaknya kebanyakan masyarakat masih menganggap bahwa dengan hanya tidur saja, seorang yang berpuasa di siang Ramadan seperti telah melaksanakan suatu ibadah. Ibadah sendiri artinya adalah bersikap patuh dengan benar-benar menundukkan hati terhadap apa-apa yang datang dari Rasulullah Saw berupa perbuatan menaati perintah atau menjauhi larangan.

Pada prinsipnya, dalam ibadah, semuanya batal, sehingga ada dalil yang memerintahkannya. Oleh karenanya, apa dalil yang dapat dipahami untuk menunjukkan tidurnya orang puasa adalah bagian dari ibadah? Dalam hal ini, ada sebuah hadis yang sering didengungkan pada saat Ramadan datang yaitu:

نَوْمُ الْصَّائِمِ عِبَادَةٌ وَصَمْتُهُ تَسْبِيْحٌ وَعَمَلُهُ مُضَاعَفٌ وَدُعَاؤُهُ مُسْتَجَابٌ وَذَنْبُهُ مَغْفُوْرٌ

“Tidurnya orang yang berpuasa itu ibadah, diamnya adalah tasbih, amalnya dilipatgandakan (pahalanya), doanya dikabulkan, dan dosanya diampuni.”

Hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi dalam kitabnya Syu’ab al-Iman, yang kemudian oleh Imam al-Suyuti dinukil ke dalam kitabnya al-Jami al-Shaghir dengan berkomentar dhaif  (lemah) untuk standar kualitas hadisnya. Imam al-Baihaqi sendiri pun telah terlebih dahulu mengomentari hadis ini dengan kedhaifan salah satu rawi (periwayat) nya yaitu Ma’ruf bin Hisan, bahkan di dalam sanad (rantai periwayat) hadis ini terdapat nama Sulaiman bin Amr al-Nakha’i yang kualitasnya lebih dhaif dari pada Ma’ruf.

Menurut Imam al-Iraqi salah seorang kritikus hadis seperti yang dinukilkan oleh Muhammad bin Ismail as-San’ani dalam kitabnya at-Tanwir Syarh al-Jami al-Shaghir beliau menyatakan bahwa Sulaiman bin Amr al Nakha’i merupakan salah seorang pendusta. Tidak hanya imam al-Iraqi yang menyatakan kritik kepada Sulaiman bin Amr al Nakha’i bahwa ia seorang pendusta atau pemalsu hadis, para ulama kritikus hadis ternama seperti Imam Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Ma’in, Imam Ibnu Adiy, Imam Ibnu Hibban dan Imam al-Hakim juga berpendapat serupa yaitu menyatakan bahwa Sulaiman bin Amr al Nakha’i adalah seorang pemalsu hadis.

Imam al-Bukhari juga telah memberikan kritikannya terhadap Sulaiman bahwa hadisnya matruk (semi palsu lantaran pendusta). Sedangkan Yazid bin Harun menyatakan, “Siapa pun tidaklah halal untuk meriwayatkan hadis dari Sulaiman bin Amr”.

Dalam disiplin ilmu hadis, jika dalam suatu hadis terdapat periwayat yang pendusta maka hadis tersebut dinamakan hadis maudhu’ atau hadis palsu, tidak bersumber dari Rasulullah Saw. Berdalil untuk sebuah amalan dengan menggunakan hadis palsu adalah hal yang dilarang sebagaimana dilarangnya meriwayatkan hadis palsu tanpa menjelaskan kepalsuan hadisnya.

Maka kesimpulannya adalah tidurnya orang berpuasa bukanlah merupakan suatu ibadah. Meskipun demikian, orang yang siang hari puasanya hanya dipakai untuk tidur masih tetap mendapatkan pahala, namun pahala yang didapat bukan karena tidurnya, namun karena puasanya. Alangkah lebih baik jika kita mengganti kebiasaan tidur saat puasa dengan amalan-amalan lain seperti berdoa, membaca Al-Qur’an, berdzikir dan lain sebagainya.

Suber : https://harakah.id/tidurnya-orang-puasa-bukan-ibadah-ini-penjelasan-hadisnya

 

https://harakah.id/tidurnya-orang-puasa-bukan-ibadah-ini-penjelasan-hadisnya