Penggunaan obat jenis PCC (paracetamol caffein carisoprodol) di Kendari, Sulawesi Tenggara, dipertanyakan karena izin edar carisoprodol telah dibatalkan pada 2013.

Produk tersebut seharusnya telah ditarik dari peredaran, tetapi obat jenis PCC masih saja beredar pada 2017.

Pengamat farmasi, Anthony Charles Sunarjo, mengungkapkan bahwa setelah nomor registrasi sebuah obat dicabut dan muncul larangan distribusi, perlu waktu untuk menarik peredarannya di pasar.

“Minimum enam bulan,” kata Anthony dalam sebuah acara diskusi di bilangan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (16/9/2017).

Namun, kerap kali ditemukan kesulitan untuk menarik obat-obat tersebut secara bersih. Sebab, pada umumnya stok yang beredar di pasaran untuk penjualan mencapai stok 1 tahun.

Menurut Anthony, perlu dikaji kebenarannya bahwa masih ada sisa stok yang tak ditarik dari pasaran.

Selain itu, perlu pula mengkaji apakah ada pihak-pihak yang memanfaatkan kekosongan. Saat sebuah jenis obat ditarik dari peredaran, belum tentu seluruh dokter di Indonesia mengetahuinya. Sehingga, masih mungkin ada orang-orang yang mencari obat tersebut padahal sudah sulit ditemukan.

Selain itu, ada pula hal teknis yang bersifat emosional yang membuat orang-orang masih mencari meski obat itu sudah tak ada di pasaran. Hal ini dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang mencari untung untuk memproduksi sendiri obat yang dicari.

“Ada yang memanfaatkan karena masih banyak yang cari,” kata Ketua Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia 1996-2011 itu.

Penggunaan PCC di Kendari telah menyebabkan seorang siswa kelas VI SD tewas dan puluhan orang lainnya dilarikan ke rumah sakit.

Saat ini polisi telah menangkap sembilan pelaku yang diduga sebagai penyedia dan pengedar obat ilegal, yakni PCC, Somadril, dan Tramadol. Dua orang di antaranya merupakan apoteker dan asisten apoteker yang bekerja di salah satu apotik di Kendari, Sulawesi Tenggara.