JAKARTA – Kasus stunting di Indonesia cukup memprihatinkan. Mengacu pada hasil Studi Status Gizi Balita di Indonesia (SSGBI) Kementerian Kesehatan pada 2019, terdapat 5 juta bayi lahir di Indonesia setiap tahunnya. Dari jumlah itu, sebanyak 27,6% di antaranya atau sekitar 1,2 juta dalam kondisi stunting. Karena itu, pemerintah menggenjot upaya penurunan kasus stunting.
Ada beragam penyebab terjadinya stunting. Salah satunya adalah kesehatan pasangan suami istri. Bahkan, ternyata kebiasaan merokok secara berlebihan juga berpengaruh terhadap kualitas sperma yang bisa berpotensi menimbulkan stunting. ”Kebiasaan merokok itu sangat berpengaruh ke kualitas sperma. Banyak sekali para perokok itu yang kemudian spermanya kurang bagus kalau merokoknya kuat,” ujar Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo, Jumat (19/2/2021).
Selain itu, fastor psikis juga berpengaruh terhadap kualitas sperma. Hasto mengatakan, 60% penyebab importensi pada pria adalah faktor psikis seperti tingkat stres yang tinggi, entah karena tekanan pekerjaan atau faktor psikis lainnya. ”Makanya untuk pekerjaan-pekerjaan tertentu seperti wartawan yang jam kerjanya kurang teratur sehingga istirahatnya juga teratur, itu merupakan kelompok rentan,” katanya.
Bagaimana dengan kebiasaan menggunakan gatget secara berlebihan apakah juga memiliki pengaruh pada kesehatan reproduksi? Hasto mengatakan bahwa belum ada studi yang menunjukkan kebiasaan menggunakan gatget berpengaruh pada kualitas sperma. ”Yang berpengaruh itu kalau suhu. Misalnya berendam di air panas atau naik motor yang mesinnya rusak, itu menimbulkan panas dan itu bisa berpengaruh pada kualitas sperma. Kalau sinyal gatget, sepertinya tidak pengaruh,” urainya.
Hasto memberikan tips bagi suami agar kualitas spermanya bagus yakni mengkonsumsi zink dan mengurangi atau lebih bagus berhenti merokok.
Diketahui, sebelumnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menunjuk BKKBN sebagai leading sector percepatan penanganan stunting di Indonesia. Menurut Hasto, impian bangsa ini yang memiliki jumlah penduduk besar, lebih dari 260 juta jiwa adalah memiliki sumber daya manusia (SDM) unggul dan berkualitas. Faktanya, kasus bayi stunting masih cukup tinggi mencapai 27,6%.
”Oleh karena itu inilah pentingnya penduduk kita harus berkualitas dan harus tidak stunting. Kita paham bonus demografi itu puncaknya antara 2020-2035 nanti ketika pas puncak bonus demografi, kita harus punya SDM unggul sehingga generasi emas kita untuk tahun 2045 itu bisa tercapai, tetapi bersamaan dengan itu stunting kita tinggi,” katanya. (*)