Jakarta,
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengklarikasi kabar yang beredar soal dugaan gelombang panas tengah melanda Indonesia.
Isu ini muncul disertai peringatan suhu udara akan mencapai 40 derajat celcius dan anjuran agar masyarakat tidak mengonsumsi air dingin atau air es.
“Berita yang beredar ini tentu tidak tepat, karena kondisi suhu panas dan terik saat ini tidak bisa dikatakan sebagai gelombang panas,” ungkap Kepala Bagian Humas BMKG, Akhmad Taufan Maulana dalam keterangannya, Minggu (15/11/2020).
Menurut Taufan, kondisi saat ini tidak menandakan gelombang panas karena suhu maksimum di wilayah Indonesia tercatat berada di kisaran 36 derajat celcius. Suhu tersebut terjadi di Bima, Sabu, dan Sumbawa, Nusa Tenggara Barat pada 12 November 2020 lalu.
“Suhu tertinggi pada hari itu tercatat di Bandara Sultan Muhammad Salahudin, Bima yaitu 37,2 derajat celcius. Namun catatan suhu ini bukan merupakan penyimpangan besar dari rata-rata iklim suhu maksimum, masih berada dalam rentang variabilitasnya di Bulan November,” jelasnya.
Taufan menjelaskan, peningkatan suhu udara di Indonesia bisa disebabkan oleh kedudukan semu gerak matahari tepat di atas Pulau Jawa dalam perjalanannya menuju posisi 23 lintang selatan, setelah meninggalkan ekuator pada November 2020.
Ia menambahkan, posisi semu matahari di atas Pulau Jawa akan terjadi dua kali, yakni pada November 2020 dan Februari-Maret 2021, sehingga puncak suhu maksimum mulai dari Jawa hingga NTT terjadi di seputar bulan-bulan tersebut.
Kedua, cuaca cerah menyebabkan penyinaran langsung sinar matahari ke permukaan lebih optimal sehingga terjadi pemanasan suhu permukaan. Jadi kondisi Jakarta dalam dua hari terakhir berkaitan dengan berkembangnya siklon tropis VAMCO di Laut Cina Selatan.
Cuaca itu menarik masa udara dan awan-awan sehinggga menjauhi wilayah Indonesia bagian selatan dan membuat cuaca cenderung menjadi lebih cerah dalam dua hari terakhir.
Sementara untuk gelombang panas, kata dia, biasanya didefinisikan sebagai periode cuaca atau suhu panas yang tidak biasa yang berlangsung setidaknya lima hari berturut-turut atau lebih. Hal ini merujuk pada batasan dari Badan Meteorologi Dunia (WMO).
Taufan menjelaskan untuk dianggap sebagai gelombang panas, suatu lokasi harus mencatat suhu maksimum harian melebihi ambang batas statistik, misalnya 5 derajat celcius lebih panas dari rata-rata klimatologis suhu maksimum.
“Atau setidaknya telah berlangsung dalam lima hari berturut-turut. Apabila suhu maksimum tersebut terjadi dalam rentang rata-ratanya dan tidak berlangsung lama maka tidak dikatakan sebagai gelombang panas,” tukasnya.