Jakarta, Buletinnusantara – Hanya teringat kematian. Sudah waktunya ‘berpulang’ dan istirahat dengan tenang di sisiNya, menjadi isi pikiran seorang Maria Darmaningsih, ketika pertama kali divonis positif COVID-19 oleh dokter. Tidak ada harapan lagi. Hatinya ciut, gelisah dan tentunya sangat berat dirasa.
“Perasaan saya waktu itu luar biasa susah digambarkan. Sangat “hopeless”, saya pikir sudah jalannya ini. Rasanya sudah melihat jalan ‘pulang’, perasaan saya begitu,” ungkap Maria dalam dialog yang dipandu Kristomei Sianturi bersama Psikolog Ina. M. Surya Dewi di Media Center Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, Jakarta, Graha Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Minggu (17/5).
Menerima vonis positif COVID-19 dari dokter, juga membuat Maria lebih bertanya-tanya tentang penyakit yang dideritanya. Sebab pada saat itu, dia belum memperoleh pemahaman secara lengkap mengenai COVID-19.
“Saya stress, karena saya belum percaya kalau saya sakit. Karena saya hanya merasa cuma batuk dan tidak ada nafsu makan,” kata Maria.
Lantas pikiran stres itu perlahan berubah setelah seorang rekan yang tak lain adalah Psikolog Ina, menghubungi dan mengajaknya untuk membuat kegiatan yang menyenangkan sekaligus dapat menenangkan pikiran dengan kegiatan seni.
“Coba mbak menggambar (Maria menirukan ajakan Psikolog Ina). Saya dikirimi alat-alat gambar. Ketika menggambar saya merasa mau marah atau apa. Sepertinya berekspresi aja semau saya,” ujar Maria.
Sembari melukis sebagai bentuk mengekspresikan diri, Maria juga mendengarkan lagu Ave Maria hingga musik instrumental dari komposer Eric Alfred Leslie Satie atau Eric Satie. Lagu-lagu itu secara perlahan membantu memulihkan kondisi emosionalnya menjadi semakin stabil.
“Saya merasa di lingkaran ini mendapat ketenangan. Rasanya tidak terfikir (pikiran negatif) ketika menggambar,” terang Maria.
Akan tetapi hal itu belum cukup membuat dirinya tenang. Konsentrasi terpecah ketika para wartawan mulai menyerbu meminta keterangan dan menggali segala informasi mengenai dirinya sebagai “Pasien 02”dan kedua anaknya yang juga menyandang status “Pasien 01 dan Pasien 03” COVID-19 di Indonesia.
“(Saat saya melukis) Ini diganggu banyak (wartawan), sampai menggambar tidak tenang,” kenang Maria sambil tersenyum.
Maria kemudian kembali mendapatkan ketenangannya setelah mendengarkan lagu “Yen Ing Tawang Ono Lintang” milik maestro keroncong Waldjinah dan “Tears in Heaven” miik musisi Eric Clapton.
*Ekspresi Diri Adalah Obat*
Sebagai sahabat sekaligus Psikolog, Ina M.Surya Dewi mengungkapkan bahwa pilihan terapi yang ditawarkan kepada Maria dengan melukis dapat mengeluarkan pikiran negatif dengan mengekspresikan perasaan melalui media lukis.
“Berekspresi melalui medium cat air dan kertas gambar merupakan alat untuk berekspresi diri. Dan saya kira dalam hal ini Ibu Maria sudah memilih terapi ini sendiri tanpa saya mengarahkan,” terang Ina.
Apabila melihat hasil lukisan Maria, Psikolog Ina melihat bahwa ada harapan yang dituangkan dan ingin dicapai.
“Gambarnya cukup ceria. Dalam pemilihan warnanya, saya melihatnya ada warna yang cerah ada harapan,” jelas Ina.
Ina percaya bahwa media lukis menggunakan teknik cat air lebih mudah dilakukan orang awam, sehingga hal itu juga dapat sulit dilakukan siapa saja, termasuk Maria.
Maria yang juga merupakan dosen seni tari di Institut Kesenian Jakarta juga mengekspresikan diri melalui gerakan tubuh dan menari di sela melakukan isolasi mandiri. Maria percaya bahwa kebahagiaan dapat meningkatkan imunitas tubuh, sebagai benteng pertahanan melawan virus.
“Tapi menghibur sekali (dengan menari) dan ada energi yang keluar. Saya bercanda juga bersama ana-anak. Karena ketika kita bahagia imunitas kita meningkat,” jelas Maria.
Bagi Ina, apa yang dilakukan Maria menurut Ina sudah sangat bagus sekali. Menurutnya, setiap orang dapat menyalurkan ekspresi untuk mengeluarkan perasaan dan pikiran negatif melalui berbagai cara, tidak perlu harus seni, bisa apa saja.
“Setiap orang bisa berekspresi untuk gerak. Itu menjadi ekspresi dan mengeluarkan apa yang ada di pikiran. Perlu keberanian untuk berekpresi saja, secara bebas, tidak perlu memberikan penilaian terhadap diri kita,” jelas Ina.
Selanjutnya, beberapa lukisan karya Maria itu dicetak ke dalam tas kanvas (tote bag) yang kemudian dia berikan kepada dokter, perawat dan tenaga medis RSPI Sulianti Suroso, yang telah menolong penyembuhan dan pemulihan Maria beserta keluarga.
Dalam tas tersebut juga dibubuhkan satu puisi yang khusus ditulis sebagai bentuk ucapan terima kasih kepada para tenaga kesehatan dan semua yang menolong Maria menaklukan COVID-19. (APJ)*