Jakarta, Buletinnusantara – Mengelola komunikasi publik selama pandemi COVID-19 menjadi hal yang tidak mudah akan tetapi harus dilakukan untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat agar lebih tahu bagaimana menangani permasalahan yang juga dihadapi banyak negara di dunia ini.
Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Widodo Muktiyo mengatakan bahwa hal yang menjadi kendala tersebut salah satunya adalah faktor geografi Indonesia yang terdiri dari banyak pulau dan ragam kebudayaan tiap wilayahnya.
“Ada yang di kota ada yang di pelosok sampai pada yang di terpencil,” kata Widodo.
Kondisi geografis Indonesia dan ragam budaya itu menurut Widodo mempengaruhi penyampaian dan penerimaan informasi di tengah masyarakat. Sehingga hal itu juga kemudian melahirkan berbagai bentuk respon di tengah masyarakat.
Adapun berbagai bentuk respon yang muncul tersebut adalah mulai dari yang belum tahu menjadi belum percaya kemudian memicu kepanikan hingga pada akhirnya mengubah perilaku masyarakat dan berujung stres.
“Paniknya tidak hanya ada di dalam diri kita, tapi paniknya sampai pada perilaku ekonominya. Ada _panic buying_, dibeli macam-macam itu,” jelas Widodo.
Selain itu, Widodo memahami bahwa timbulnya stres itu juga disebabkan oleh suatu keadaan masyarakat yang ‘dipaksa’ untuk mengubah pola kehidupan sehari-hari, dari yang awalnya berjalan normal, menjadi dibatasi dan diatur ruang geraknya.
“Ini kan gaya hidup baru yang dipaksa harus ikut, setelah (masyarakat) tahu. Nah di situlah kemudian terjadi satu situasi yang di dalam keluarga itu menjadi sesuatu yang baru, dipaksa, punya implikasi yang lebih luas lagi,” terang Widodo.
Kemudian Widodo menjelaskan bahwa pada awalnya tidak semua masyarakat memahami bahwa kondisi stres dapat menurunkan imunitas seseorang sehingga dapat membuat tubuh menjadi rentan terinfeksi virus.
Akan tetapi dari waktu ke waktu masyarakat dan secara berkala masyarakat mulai memahami dan mulai dapat mengelola situasi sehingga keadaan menjadi lebih tenang.
Adapun menurut Widodo, dinamika kejadian yang timbul tidak hanya berhenti di sana. Dalam kurun waktu dua bulan sejak dibentuk Media Komunikasi Publik Gugus Tugas, masyarakat juga kembali bereaksi ketika pemerintah memberlakukan aturan untuk tidak mudik.
“Dalam dirinya ada suatu keinginan tetapi kemudian harus (dipaksa) mengerti bahwa situasi ini akan merugikan semua,” jelas widodo.
Dalam hal ini, Widodo mengatakan bahwa banyak masyarakat yang masih belum menggunakan pemahaman kognitifnya untuk menyikapi keputusan pemerintah yang mengatur larangan mudik.
Oleh sebab itu, Tim Komunikasi Publik tak henti memberikan layanan informasi dan komunikasi menggunakan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami agar masyarakat dapat menerima dan memahami ketentuan dan aturan yang diambil pemerintah demi memutus rantai penyebaran COVID-19.
“Kami selalu menekankan pemahaman bahwa mudiknya bisa ditunda diundur, besok akhir tahun dan sebagainya,” pungkas Widodo. (APJ)*