Jakarta, buletinnusantara – Kain Sarung selalu identik dengan kyai dan santri yang ada dalam sebuah pesantren. Identitas ini sudah ada sejak sebelum kemerdekaan. Tidak jelas kapan istilah sarung ini ada selain bahwa istilah ini dipastiakan ada sejak pesantren itu sendri berdiri; yaitu sekitar akhir abad 18 dan awal abad 19. Pada masa-penjajahan kain sarung tidak hanya digunakan untuk yang sifatnya ibadah seperti solat, ngaji dan lainnya tapi juga menjadi simbol perlawanan terhadap penjajahan yang menimpa negeri ini. Hal ini dikemukakan dalam Seminar Nasional Sarung Nusantara yang digelar Lembaga Takmir Masjid (LTM) PBNU, Kamis (6/4) di Gedung PBNU Jakarta bertajuk Sarung sebagai Identitas Budaya Indonesia.
Dalam acara tersebut, bukan hanya sebagian peserta seminar yang mengenakan sarung, tetapi sarung juga mengikat di pinggang para narasumber utama yang mengisi acara itu. LTM PBNU mengundang narasumber di antaranya Ketua Lesbumi PBNU KH Agus Sunyoto, Budayawan yang juga Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi, dan Guru Besar UIN Maulana Malik Ibrahim Malang Imam Suprayogo. Mereka secara bergantian mengurai makna sarung dari berbagai perspektif.
Imam Suprayogo yang menjadi pembicara pertama mengungkapkan bahwa sarung mempunyai banyak fungsi ketika dipakai oleh seseorang. Ia mencontohkan santri di pesantren yang selama ini lekat dengan sarung di berbagai kegiatannya di pesantren.
Menurut beliau; “ Sarung itu merupakan simbol dari keanggunan pemakainya karena di samping dipakai sebagai sarana ibadah dan menunjukkan keluhuran akhlak, sarung juga menjadi identitas kecerdasan seseorang. Kita tidak menjumpai anak muda yang pacaran dengan memakai sarung atau di tempat-tempat negatif lainnya. Sarung juga tidak selalu menunjukkan pemakainya sebagai orang yang bodoh dan tradisional karena ternyata banyak mahasiswa/santri saya yang lulus dengan predikat terbaik bahkan ada santri yang menulis skripsi dengan 3-9 bahasa dan mereka itu pake sarung semua”. paparnya menjelaskan.
Berbeda dengan Imam Suprayogo, Dedi Mulyadi mengurai sarung secara filosofis, terutama dalam perspektif Budaya Sunda. Dia mengartikan sarung dengan mengurai kata “Sa” dan “Rung”. “Sa dalam bahasa Sunda berarti tidak terbatas, berlebihan. Ini sifat dasar manusia yang di dalam dirinya mengandung tanah, air, udara, dan api. Sudah mempunyai sertifikat tanah, tetapi manusia terus ingin memperlebar kepemilikan tanahnya,” ujar Kang Dedi, sapaan akrabnya. Begitu juga dengan air, imbuhnya, manusia mempunyai kecenderungan memompa air sebanyak-banyaknya, padahal yang diminum hanya dua gelas.
Menurutnya, udara dan api juga sama yang jika dimanfaatkan atau dikuasai secara belebihan akan mendatangkan bencana. “Sebab itu diteruskan dengan kata ‘Rung’, artinya dikurung. Segala ketamakan manusia yang terdapat dalam keempat unsur tersebut berusaha dibatasi atau dikurung,” jelas Kepala Daerah mempunyai misi penguatan seni dan budaya Indonesia dalam tata kelola pemerintahannya ini.
Sementara itu, Ketua Lesbumi PBNU KH Agus Sunyoto memaparkan sarung secara historis. Ia menungkapkan bahwa sebetulnya sarung lahir dari bangsa Yaman. Tetapi bangsa Indonesia berhasil memodifikasi sarung sesuai dengan identitas lokal masing-masing dari orang-orang Nusantara sejak dulu. Sebab itu, kain sarung yang lahir dari sejumlah suku di Indonesia mempunyai nama-nama yang berbeda seperti di antaranya Songket yang banyak diproduksi di sejumlah daerah, Ulos di Sumatera Utara, Tapis di Lampung, dan sarung tenun yang terdapat di berbagai wilayah di Indonesia.
Dijumpai ditempat terpisah ketua panitian H. Muiz Ali Murtadha mengatakan bahwa dengan adanya seminar ini yang dilanjutkan dengan festival sarung budaya nusantara adalah dalam rangka untuk meneguhkan NU sebagai organisasi masyarakat dengan menjadikan sarung sebagai identitas Islam Nusantara dan untuk memperkokoh peradaban Islam Indonesia dalam kancah peradaban global.
(Imam Muzaki)