Robohnya Masjid Ukhuwah Kami
Oleh: Lutfi Syarqawi Zain

Buletinnusantara – Rasionalitas demokrasi kita sedang diuji. Bentuk ujiannya adalah munculnya paham-paham radikal keagamaan yang memanfaatkan ruang demokrasi untuk mendesakkan paham atau ideologi tertentu kedalam ruang publik yang lebih luas. Mereka berargumen bahwa apa yang mereka lakukan dianggap sebagai bentuk kebebasan berekspresi yang dijamin undang-undang. Maka menjadi wajar dan sah jika pola keberagamaan ditampilkan ke publik selama tidak melanggar undang-undang yang berlaku. Namun argumen ini hanya retorika mereka untuk mengelak dari tudingan sebagai kelompok yang anti demokrasi dan NKRI. Karena dalam keyataannya mereka menggunakan slogan-slogan dan simbol-simbol keagamaan tertentu dan tidak jarang dinyatakan dengan bahasa kebencian dan permusuhan terhadap pihak lain yang berbeda. Maraknya selebaran dan spanduk menolak mensolati jenazah orang yang dianggap munafik, karena berbeda paham dan pilihan politik, dibeberapa masjid membuktikan semakin menguatnya paham agama yang berciri radikal ini dan membahayakan rasa persatuan dan kesatuan kita sebagai elemen bangsa yang multi etnis dan agama.
Masjid yang sejatinya dibuat tempat beribadah kepada Tuhan dan dakwah-dakwah yang menyejukkan beralih fungsi menjadi ajang khotbah tentang kebencian dan permusuhan. Tuduhan-tuduhan kafir, musyrik dan munafik terhadap paham yang berbeda mengindikasikan radikalisme agama telah menemukan momentumnya dalam ruang demokrasi tapi nir logika ini. Logika hanya menjadi instrumen pembenaran terhadap perilaku agama yang jauh dari etik-moral Al-Qur’an yang sangat menekankan pada persamaan, keadilan, dan toleransi. Nilai luhur agama yang ditujukan untuk meningkatkan kualitas akhlaq manusia dijatuhkan pada semata memenuhi ambisi kekuasaan yang sifatnya sementara.

Ruang publik demokrasi yang seharusnya ditunjukkan dengan rasionalitas argumentasi dan sikap yang setara tanpa sekat primordial menjadi ternoda akibat sikap fanatisme agama yang berlebihan dengan klaim kebenaran sendiri secara mutlak. Dikotomi benar-salah berdasarkan wahyu an-sich tanpa olah pikir akal-budi sama dengan membatasi makna firman Tuhan yang maha luas menjadi rigit dan sempit. Agama kehilangan nilai-nilai luhurnya dan hanya menjadi bumbu panyedap rasa yang disukainya sendiri.

Hal tersebut ditandai dengan menguatnya berbagai isu dan simbol agama dalam beragam peran sosial dan politik belakangan ini. Esksistensi mereka semakin membahayakan karena menggunakan jargon dan simbol agama tertentu sebagai cara meraih kepentingan golongannya. Agama jika sudah menjadi alat mendapatkan kepentingan dan kekuasaan maka tinggal menunggu petaka kemanusiaan yang akan terjadi. Oleh sebab itu, menjadi tugas penting negara dan masyarakat untuk mengikis habis sebelum tumbuh menjadi besar. Karena membiarkan duri dalam daging semakin lama akan membuat daging membusuk dan merusak sistem imun tubuh secara keseluruhan. Maksudnya adalah, setiap usaha dan upaya yang mencoba merongrong kedaulatan NKRI dan memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa harus sedini mungkin dicegah pun atas nama demokrasi. Karena dalam demokrasi yang sehat juga berlaku sistem amputasi jika ada anggota tubuh lain yang cenderung merusak. Dalam kaidah fiqih ini disebut dengan “menolak kerusakan itu lebih didahulukan dari pada mendatangkan kebaikan” (dar ul mafasid muqaddamun ala jalbil masholih).

Sarana-sarana demokrasi mereka gunakan dengan cara yang cerdik untuk menumbangkan demokrasi itu sendiri. Atas nama demokrasi mereka mengerahkan daya-upaya terhadap pentingnya berlakunya syariah islam di republik ini dan seringkali dilakukan dengan kekerasan. Karena demokrasi berikut derivasinya, menurut mereka, merupakan sistem Barat yang tidak kompatibel dengan Islam. Banyaknya peristiwa bom bunuh diri dibeberapa daerah mengindikasikan akan hal itu. Mereka seolah tidak menyadari majmuknya masyarakat Indonesia dengan beragam etnis, agama dan budaya.

Menjadikan agama tertentu sebagai sarana untuk menghilangkan hak-hak orang lain jelas menunjukkan kepandiran pelakunya terhadap sejarah dan agama itu sendiri. Kepandiran itu bisa dilihat bahwa mereka masih menyoal hubungan agama dan negara yang sudah dianggap final oleh para Salafus-Shalih pendiri negara ini dengan Pancasila dan UUD 45 sebagai dasar/pilar negara. Seharusnya isu-isu politik yang perlu diangkat kepermukaan adalah bagaimana mengurangi kemiskinan dan pengangguran bagi siapa saja yang paling siap dan mampu melakukan itu semua dan bukan pada apakah ia muslim atau kafir, hitam atau putih, laki atau perempuan.

Dengan demikian, persoalannya kemudian terletak pada bagaimana cara kita untuk membendung patologi agama dan sosial yang makin menggejala ini. Jawabannya adalah tentu harus kembali ke falsafah dasar negara yaitu; Pancasila dan UUD 45. Kalau dalam setiap pribadatan kita harus merujuk pada Al-Qur’an dan Hadis maka pada setiap perilaku kebangsaan dan kenegaraan kita seharusnya kembali ke sumber awal konstitusi negara yang dalam hal ini adalah Pancasila dan UUD 45.

Jika dalam perilaku beragama kita mendasarkan diri pada ajaran etika yang menjunjung tinggi Tuhan dan kemanusiaan maka dalam prilaku kenegaraan kita dituntut pula harus mengangkat tinggi hak dan kewajiban sebagai sesama warga negara sesuai perundangan yang berlaku. Agama dan negara memang memiliki hubungan diametral tapi tetap perlu untuk saling mengisi dan memberi karena kehilangan salah satunya, berdasarkan bukti sejarah, hanya akan melahirkan malapetaka yang mengerikan. Sejarah konflik antara Islam dan Kristen di satu sisi dan petaka Nazisme dan Komunisme di sisi yang lain membukitkan bahwa agama tanpa negara dan negara tanpa agama telah menjerumuskan umat manusia pada jurang hitam sejarah yang mengerikan.

Oleh karena itu, dalam konteks berbangsa dan bernegara dibutuhkan kesungguhan mendengar dan mengaktualkan nilai-nilai yang lebih mendalam dan universal dari agama begitu juga sebaliknya. Agama tidak hanya difungsikan sebagai jargon tapi pada penerapan etik-moralnya dalam membangun bangsa dan negara. Karena jika nilai-nilai univesal agama ini diterapkan secara jujur dan adil maka dipastikan ia akan menjadi warga negara yang religius dan taat tanpa harus teriak-teriak di jalanan dan memaksakan kehendak diruang publik politis.

Disadari atau tidak konstitusi negara kita sebagian besar telah mengakomodasi keragaman agama dan budaya dari masing-masing kelompok masyarakat. Sikap politik warga sejatinya berorientsi pada bagaimana meningkatkan taraf hidup rakyat banyak, lahir maupun batin (Politics of Value), bukan semata mengejar dan mempertahankan kekuasaan dimana terkadang Tuhan tidak begitu dianggap penting dalam hal ini (Politics of Power). Dalam arti ini, kita tidak perlu menyimpan iman dirumah demi tujuan tertentu (sekulerisme) tapi juga tidak perlu mendesakkan iman dalam arti formal dan baku di panggung republik (islamisme). Cukuplah iman dipahami sebagai peneguhan atas nilai-nilai Tuhan yang terejawantah dalam perilaku keadilan dalam Islam, cinta kasih dalam Kristen, anti kekerasan/ahimsa dalam Hindu dan kesederhanaan ala Budha serta lain sebaginya.
Di dalam Al-Qur’an dalam surah Al-Hujurat ayat 9-18 sudah secara gamblang menjelaskan bahwa Allah menciptakan manusia itu dengan beragam suku, agama dan bangsa untuk saling mengenal dan mengasihi bukan saling membenci dan memusuhi serta menjauhi prasangka dan tuduhan-tuduhan keji. Sesungguhnya nikmat iman dan Islam kita bukan karena upaya kita sendiri melainkan itu datang dari Allah semata yang maha mengetahui segala yang ghaib dan yang nyata. Tidak ada jalan lain bagi kita selain saling menghargai dan menghormati antar sesama manusia beriman dan berbangsa. Tidak ada ajaran agama yang manganjurkan kebencian dan permusuhan. Kalaupun ada itu pasti karena egoisme dan ambisi nafsu yang menuntut kepuasan.

Kesimpulannya, klaim-klaim retoris tentang kebenaran oleh kelompok tertentu tidak lebih dari pada muslihat untuk menutupi “amplop” intrest yang mendasarinya. Mereka menjadikan masjid sebagai ladang meraih keuntungan pribadi dan golongannya saja. Padahal merubah fungsi masjid yang sejatinya dari umat untuk umat seolah menjadi milik pribadi dan golongan, ditambah dengan hinaan dan cacian terhadap pihak lain, sama saja dengan mengotori dan menghina Tuhan di rumah-Nya sendiri. Oleh karena itu menjadi tugas negara dan masyarakat untuk membersihkan lantai masjid yang terkena najis politis serta menyucikan mihrabnya dari kotoran-kotoran kebencian yang merusak kesatuan umat. Mengutip dawuh Gus Mus sungguh keterlaluan bagi mereka yang mengajak Tuhan berkampanye untuk memenuhi kepentingan pribadi dan kelompoknya lebih-lebih jika hal itu dilakukan di rumah Tuhan yang mulia.

 

 

(Imam Muzaki)