Jakarta, Buletinnusantara – Polri dan Badan Narkotika Nasional (BNN) harus membuktikan ucapan Freddy Budiman terkait upeti miliaran rupiah yang disetorkan ke institusi penegak hukum itu. Ketua Umum Gerakan Nasional Antinarkotika Henry Yosodiningrat menilai, bakal sulit untuk membuktikan kebenaran cerita Freddy.
Henry pun mempertanyakan, kenapa Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Azhar baru sekarang menceritakan pengakuan tersebut. Namun demikian, dia tetap meminta Polri dan BNN menindak tegas oknum yang terlibat.
Dia juga meminta agar Kementerian Hukum dan HAM bekerja sama dengan PPATK untuk menelusuri rekening pejabat rumah tahanan. Pasalnya, banyak kasus terkait oknum dari rumah tahanan yang membantu peredaran narkoba yang dijalankan narapidana.
“Minta juga Komisi Pemberantasan Korupsi untuk sadap komunikasi,” tandasnya.
Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Boy Rafli Amar menyatakan, dirinya telah bertemu dengan Haris. Saat tatap muka, Boy mengaku, Haris hanya menceritakan hal yang sama seperti apa yang sudah tersiar di media massa. “Nampaknya dia (Haris) belum siap menyebut nama,” kata Boy.
Dari Haris, dirinya membenarkan telah bertemu dengan Boy dan menceritakan semua yang ia tahu. Mengenai pembuktian, dia menilai itu bukan wewenangnya, melainkan para penegak hukum yang disebutkan Freddy. Dirinya hanya ingin membantu untuk membuktikan cerita Freddy.
Haris juga menegaskan, dirinya tidak diperkenankan membawa alat komunikasi atau elektronik saat bertemu Freddy pada 2014. “Saya ketemu Freddy di tengah kampanye yang panas. Bicara sama SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) enggak ada gunanya. Saya tunggu rezim terpilih,” ujar Haris.
Saat ditanya apakah yang dia lakukan terkait sikap Kontras yang tidak mendukung vonis mati, Haris menjawab bahwa pada dasarnya hukuman mati akan menyulitkan jika penegak hukum masih membutuhkan informasi dari sang terpidana. “Kalau ada kebutuhan terkait proses hukum, bagaimana caranya menghidupkan yang sudah mati?” tandasnya.
Penjelasan Jaksa Agung
Terkait sisa terpidana mati yang belum dieksekusi, Henry juga meminta agar Jaksa Agung memberikan penjelasan kepada rakyat Indonesia. Dari empat belas terpidana, baru empat yang dieksekusi di Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah.
Henry menilai, Jaksa Agung merusak wibawa instusi yang ia pimpin dengan menunda eksekusi mati 10 terpidana lainnya. Padahal, sudah ada anggaran yang mencapai lebih dari Rp2 miliar untuk eksekusi mati. “Saya dengar Rp200 juta untuk satu narapidana. Tapi, sekarang baru empat yang dieksekusi, itu kan namanya buang-buang uang, kerja yang tidak efektif,” kata Henry.
Sebelumnya, Harris mengaku mendapatkan kesaksian langsung dari Freddy di sela-sela kunjungannya ke Lapas di Nusa Kambangan pada 2014 lalu. Dari kesaksian itu, setidaknya Freddy diduga telah memberikan Rp450 miliar kepada BNN, Rp90 miliar kepada pejabat tertentu di Mabes Polri dan mendapatkan bantuan salah seorang Jenderal TNI bintang 2.
Dugaan upeti itu lah yang membuat Freddy lancar melakukan kejahatan penyelundupan Narkoba selama ini. Freddy mengimpor narkoba langsung dari Tiongkok.
Sumber: Metrotvnews