Sejak tahun 1908 perjuangan bangsa Indonesia akhirnya bisa merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 dengan memperoleh kemerdekan politik (political indevendence) bebas dari imprealisme dan kolonialisme Belanda dan Jepang. Namun, kemerdekan politik tersebut belum bisa memaksimalkan kebangkitan dan kesejahteraan mayoritas bangsa kita yang tinggal di pelosok dan Pedesaan
Dengan perjuangan dan pengorbanan mahasiswa dan pemuda, pada bulan Mei 1998 kita semua dapat meraih kebebasan (Freedom) dengan berakhirnya rezim orde baru. Dari itu kita mendapatkan berbagai kebebasan, seperti kebebasan berpendapat, bersikap, dan kebebasan bertindak. Indonesia mungkin menjadi salah satu negara yang paling Demokrasi yang ada dibelahan dunia. Namun hasilnya belum berbeda jauh dengan setelah tahun 1945, meski kita telah meraih kebebasan, mayoritas bangsa kita belum pernah bangkit, tidak sejahtera dan masih sangat miskin.
Sebab, setelah tahun 1998 yang terjadi hanya demokrasiProsedural ( hanya soal pilih dan memilih red). Pemilihan umum dengan cara langsung baik pemilihan Persiden, Gubernur, Bupati dan pemilihan kepala Desa yang pertama mengunakan sistem pemilihan secara langsung akan tetapi belum meraih demokrasi yang sejati yaitu adanya efek manfaat dan menghasilkan peningkatan kesejahteraan untuk mayoritas bangsa kita. Demokrasi baru sekedar dimaknai sekedar soal pilih-memilih dan perebutan kekuasan antara elit. Padahal, Demokrasi seharusnya membawa manfaat kongkrit bagi kesejahteraan rakyat. Inilah yang menjadi tugas kita, demokrasi prosedural menjadi demokrasi subtansial, demokrasi yang beramanfaat untuk kemakmuran rakyat.
Seiring dengan akan dilaksanakannya pemilihan kepala daerah tingkat satu dan tingkat dua yang akan serentak pada tahap kedua pada tahun 2017 dan 2018 mendatang, diharapkan pesta Demokrasi tersebut, mampu melahirkan pemilihan yang subtansial dengan melahirkan pemimpin-pemimpin yang pro terhadap kesejateraan rakyat dan bersimetris denga Nawa Cita Presiden dan wakil Presiden RI, khususnya simetris dalam nawa Cita ketiga yaitu membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah, sebagai dayung bersambut atas lahirnya UU Desa No 6 tahun 2014 dengan visi dan misi UU Desa yaitu menciptakan Desa yang Maju, Mandiri, Demokratis dan Sejahtera dengan azas rekognisi dan subsidiaritas sebagai roh UU Desa.
Begitu progresifnya UU Desa dengan menempatkan Desa sebagai subjek pembangunan dengan kewenangan lokal desa, tentu mesti mendapat dukungan linear dari bawah, tengah maupun atas, supaya visi dan misi UU Desa bisa mengalir deras kebawah tanpa ada terjalan yang menyumbat satupun, kontrak politik sebagai ruang komitmen dengan setiap calon semestinya bisa dilakukan dengan isi yang terkandung dalam UU Desa, apabila itu terwujud, mampu diemban oleh setiap kepala daerah yang terpilih. Tentu masyarakat Desa, sebagai pemilih terbanyak akan mendapatkan manfaat dari pada demokrasi adanya peningkatan kesejahteran masyarakat Desa akan berefek terhadap menurunnya angka urbanisasi, menekannya angka kemiskinan dan Desa Membangun Indonesia akan terwujudnya.
Kesadaraan berpolitik masyarakat Desa tentu menjadi landasan pokok tercapainya ekspetasi harapan bangsa tersebut, sebab dengan 74.904 desa yang tersebar dari Sabang hingga Merauke membuktikan bahwa mayoritas bangsa Indonesia adalah masyarakat yang tinggal di pedesaan, dengan demikian dalam pesta demokrasi masyarakat Desa juga harus cerdik dan cerdas untuk menentukan pilihan, lihatlah para kandidat/ calon Bupati maupun Gubernur dan Wakil Gubernur yang memiliki integritas, kapasitas, loyalitas untuk berkomitemen membangun Desa dan pilihlah pemimpin “muda”.
Pemimpin muda bukan muda biologis (Eep Saful Fattah ) manakala hanya umurnya yang muda belaka yang membedakanya dengan kalangan tua. Namun, dalam aspek-aspek lain cara memposisikan diri dan memandang soal-soal mendasar, kecenderungan untuk korupsi dan berkhianat kepada publik, pemanjaan pragmatisme mereka setali tiga uang dengan kalangan pendahulu mereka. Akan tetapi jatuhkanlah pilihan kepada seseorang yang muda secara politis bukan saja muda usianya, melainkan juga terbukti dari rekam jejaknya sebagai pembawa penyegaran gagasan, perilaku dan keterampilan berdemokrasi serta pro terhadap kesejahteraan masyarakat Desa.
Dalam konteks itulah, kaum “muda politis”akan menjadi penolak “gagasan tua dan lapuk”, sentralisme, oligarki, penapian publik, dan lainya. Mereka yang muda secara politislah yang akan menyambungkan “perebutan kepemimpinan” dengan “Kesejahteraan Masyarakat desa menuju kebangkitan Indonesia ”, sementara mereka yang hanya muda secara biologis justru akan menjauhkan keduanya.
Lalu mengapa Desa tidak pernah bangkit, walapun telah memiliki kemerdekan dan Kebebasan politik, adalah karakter feodal para pemimpin. Dimana para pemimpin kebanyakan berasal dari kalangan priyayi, tradisional maupun modern yang tidak mempunyai kewajiban untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa. Dalam sistem feodal atau neo feodalisme kekuasaan berasal dari hubungan biologis dan romantisme historis dan legitimasi pencitraan semu dimana rakyat hanya diperlakukan pada saat pemilu sebagai pengembira. Dalam budaya feodal (Rizal Ramli; Menuju Kebangkitan Indonesia) pemimpin tidak mempunyai kewajiban sakral, tidak memilikinoblese oblige dan tidak memiliki semangat busihdo untuk meningkatkan kesejahteran rakyatnya, baik karena alasan ideologis, nasionalisme, kemandirian dan alasan survival.
Selanjutnya untuk mensenafaskan Komitmen UU Desa dan Nawa Cita Ketiga Jokowi-JK membangun Indonesia dari pinggiran, maka kesadaaran organik masayarakat Desa sebagai ujung tombak Demokrasi dalam menyambut Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) secara serentak menjadi penting, sebab, sikap politik masyarakat Desa akan menentukan arah angin masa depan Desa. Masyarakat desa jangan mau dijadikan objek politik jadilah pemilih yang cerdas, sebab pemilih cerdas akan memahami dengan baik makna politik dan segala implikasinya terhadap kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
Dengan demikian, pemilih cerdas tidak akan sembarang memberikan hak suaranya, ia akan memberikan suranya hanya kepada calon yang dianggap benar-benar baik dan lebih dari itu bisa memperjuangkan perbaikan daerahnya serta berkomitmen untuk kemajuan warga Desa.
Dalam situasi saat ini, kemewahan UU Desa diperlukan perubahan mental yang radikal di negeri ini. Masyarakat Desa harus disadarkan bahwa money politik dalam pesta demokrasi sangat menyengsarakan kelak, pasalnya bangsa ini tidak akan maju jika watak mencari selamat sendiri yang pernah dikatakan oleh Romo Mangun (1999) menjadi dasar dalam menentukan pilihan. Desa membangun Indonesia akan terwujud apabila kita semua berani meninggalkan setiap pemilihan yang mengandalkan politik uang. Jangan mengorbankan kesejahteraan dan keadilan Untuk kesenangan rakyat sesaat. Oleh karena itu, khusus pilkada Jawa Barat sebentar lagi akan digelar, mari wujudkan Desa Membangun Indonesia, dengan menjatuhkan pilihan bukan berdasarkan rupiah, akan tetapi berdasarkan jejak rekam (track record), keterampilan, dan mau berkomitmen untuk menempatkan Desa sebagai subjek, sebagimana UU Desa mengamanatkanya. ***
Oleh : Zenal Mutaqin