Jakarta, buletinnusantara – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus mendalami kasus dugaan suap pembahasan Raperda Reklamasi Pantai Utara Jakarta. Di mana salah satunya, mendalami peran dari Chairman Agung Sedayu Group, Sugianto Kusuma alias Aguan.
Dalam persidangan tindak pidana korupsi (tipikor), jaksa penuntut umum (JPU) KPK Asri Irawan membacakan analisis yuridis yang tertuang dalam berkas tuntutan JPU KPK terhadap mantan Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land, Ariesman Widjaja, Rabu 10 Agustus 2016.
Jaksamenyampaikan, adanya pertemuan antara Aguan anda lima anggota DPRD DKI Jakarta. Dalam pertemuan tersebut, Aguan menyanggupi menyediakan uang sebesar Rp 50 miliar apabila anggota DPRD DKI Jakarta mempercepat pembahasan Raperda reklamasi.
Terkait hal tersebut, salah satu pimpinan KPK, Laode M Syarif mengatakan, penyidik akan mempelajari semua fakta yang berkembang di persidangan tersebut.
“Semua fakta-fakta yang berkembang di persidangan itu, sedang dipelajari secara seksama oleh penyidik-penyidik KPK dan itu belum bisa kami kemukakan,” ucap Syarif di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (11/8/2016).
Menurut dia, semua yang terjadi di pengadilan menjadi informasi untuk pengembangan kasus tersebut. Bakal jadi target baru KPK? “Semua yang terjadi di pengadilan, itu jadi informasi baru yang dipakai untuk pengembangan kasus,” ucap Syarif.
Sebelumnya, Jaksa Asri Irawan mengatakan, pertemuan antara Aguan dan Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetio Edi Marsudi, Wakil Ketua DPRD DKI M Taufik, M Sanusi, Ongen Sangaji, dan Selamat Nurdin terjadi pada Desember 2015. Ariesman Widjaja juga turut hadir dalam pertemuan di rumah Aguan, Pantai Indah Kapuk, Jakarta.
“Aguan meminta bantuan Sanusi menjelaskan prosedur pembahasan raperda dan meminta mempercepat pembahasan dan pengesahannya,” ujar Jaksa Asri.
Bukan hanya itu, keyakinan JPU diperkuat dengan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Direktur Utama PT Kapuk Naga Indah (anak usaha Agung Sedayu), Budi Nurwono yang sempat dibacakan JPU dalam persidangan. Budi yang juga turut hadir di rumah Aguan, itu mengakui bahwa bosnya membahas percepatan pembahasan raperda bersama Prasetio dan kawan-kawan.
Walaupun Budi sudah mencabut BAP tersebut, JPU menilai pencabutan tersebut tidak beralasan menurut hukum. Sesuai yurisprudensi Mahkamah Agung pada 23 Februari 1960, pengakuan di luar persidangan tidak dapat dicabut.
Bahkan, BAP tersebut telah ditandatangani Budi dan telah diungkapkan di bawah sumpah untuk bisa dipertanggungjawabkan.