Jakarta, Buletinnusantara – Nahdlatul Ulama (NU) didirikan berdasarkan tiga pilar yang meliputi kebangsaan (Nahdlatul Wathon), pemikiran (Taswirul Afkar), dan pemberdayaan ekonomi (Nahdlatut Tujjar). Dari ketiga aspek tersebut, saat ini yang memerlukan perhatian lebih adalah masalah pemberdayaan ekonomi.
Salah satu cara untuk meningkatkan taraf ekonomi warga NU adalah melalui pengembangan kewirausahaan di lingkungan pesantren. Kemajuan sebuah negara, menurut Sekjen PBNU H Marsudi Syuhud, sangat ditentukan seberapa banyak entrepreneur yang dimiliki oleh negara tersebut.
“Negara maju seperti Amerika Serikat entrepreneurnya 12 persen, Inggris 10 persen, Singapura 7 persen, Malaysia 6 persen, Thailand 3 persen, Indonesia baru 1.6 persen,” katanya di gedung PBNU baru-baru ini.
Menurut Marsudi yang juga salah satu komisaris PT Kawasan Berikat Nusantara (KBN) ini, potensi pasar Indonesia sangat besar karena penduduknya berjumlah 240 juta. “Siapa saja yang jadi entrepreneur, pasarnya jelas. Malaysia pasarnya cuma 30 juta. Dengan menjadi entrepreneur maka akan menguasai kekuatan ekonomi,” tandasnya.
Ia mencontohkan, Rasulullah merupakan entrepreneur yang sukses. Pada usia 12 tahun ia sudah diajak berdagang dan ketika dewasa sudah melakukan join dengan Siti Khatijah sehingga pada usia 25 tahun sudah menjadi orang kaya raya sampai akhirnya mereka menjadi pasangan suami istri.
“Kiai NU harus membumikan sepertiga kitabnya, tidak hanya membaca atau menghukumi saja, tetapi dipraktekkan,” imbuhnya.
Karena itu, ia sendiri membangun pesantren entrepreneur di kawasan Kedoya, Jakarta barat untuk mendorong lingkungan santri berwirausaha.
Seperti juga negara, organisasi yang kuat adalah organisasi yang punya banyak entrepreneur karena Qur’an menyeru untuk membayar pajak atau zakat. Kalau bisa jadi pembayar zakat, bukan pencari zakat. “Disini kiai NU ditantang untuk membumikan agar masyarakat NU bisa menjadi pembayar zakat, bukan penerima zakat.”
Ia menjelaskan, untuk belajar entrepreneurship banyak cara yang bisa dilakukan, tak harus di bangku kuliah. “Bisa diajak langsung berbisnis atau ditraining seperti zaman Rasulullah,” ujarnya.
Sejauh ini, PBNU telah menyelenggarakan sejumlah upaya pengembangan ekonomi seperti pelatihan Baitul Mal wat Tamwil (BMT), pendirian koperasi, pendirian Himpunan Pengusaha NU (HPN) dan lainnya. Ia berharap agar keputusan tentang pengembangan sektor ekonomi ini diperkuat dalam muktamar ke-33 NU mendatang.
Dosen ekonomi syariah universitas Trisakti ini menjelaskan, dari sejak PBNU dipimpin oleh Gus Dur, ia sudah terlibat dalam pendirian Induk Koperasi Pesantren (Inkopontren) yang sekarang sudah mulai kelihatan hasilnya karena sudah terdapat sekitar 3 ribu koperasi di lingkungan pesantren.
“Dulu ketika para kiai ditanya, jawabnya, ‘saya kan ngak ngurusi bisnis’ karena anggapannya dunia bisnis itu gelap sekali. Tipu menipu, sekarang sudah mulai jadi,” ucapnya dengan nada optimis.