Mantan Narapidana Terorisme, Softan Tsauri
Mantan Narapidana Terorisme, Softan Tsauri

Literasi menjadi kata kuncinya. Ketika seseorang menjadi teroris karena kekeliruan literasi, dia harus keluar dengan bekal literasi yang benar

 

Sofyan Tsauri yang kini aktif melakukan konseling kepada terpidana terorisme di berbagai Lapas di Indonesia, mengaku harus melakukan persiapan khusus ketika akan mengunjungi seorang pelaku di rumah tahanan Polda Metro Jaya, Jakarta, awal November lalu. Ia bahkan harus terlebih dahulu menyusun 29 jawaban atas 29 pertanyaan yang dijukan tersangka, yang disebutnya masih berusia sangat muda.

“Saya tidak bisa menyebutkan namanya. Tapi dia baru ditangkap dua puluh Agustus lalu di Tambun, Bekasi. Statusnya masih tersangka,” kata Sofyan kepada Buletin Nusantara dalam percakapan di rumahnya di Depok, Jawa Barat, Minggu (8/11).

Ketika diminta oleh anggota Densus 88 Antiteror Mabes Polri untuk memberikan konseling kepada tersangka, Sofyan mengaku sangat termotivasi. Ia menggambarkan tersangka sebagai calon ideolog baru di jaringan pelaku terorisme Indonesia. “Kalau Oman (Abdurrahman) sudah selesailah. Dia kan hukuman mati. Kalau tidak sembuh (tersangka) ini calon penggantinya,” tegasnya.

Sebagai mantan teroris yang pernah yang pernah ‘mengidap’ penyakit yang sama, Sofyan menggambarkan tersangka yang kali ini diberikan konseling memiliki tingkat radikal komplit. Di lingkungannya dikenal sebagai ustaz, hafal banyak hadits dan mengerti tafsir.

“Kebanyakan penceramah radikal itu kan menafsirkan suka-suka. Ini tidak. Dia lahir dan besar dengan tradisi ormas keagamaan terbesar, pernah mondok, jago debat, sekarang radikal. Bisa dibayangkan bagaimana jadinya,” terang Sofyan. Yang membuat Sofyan semakin takjub, tersangka mampu menyusun 29 pertanyaan yang meragukan dalil-dalil di dalam buku yang diberikan aparat kepolisian untuk menyembuhkannya. “29 pertanyaan itu saya jawab tuntas. Dia juga lebih banyak diam saat saya temui, tidak mendebat atau menyanggah. Semoga dia bisa sembuh,” pungkasnya.

 

‘Menumbuhkan’ sebagai Penebusan Dosa

Sofyan Tsauri ditangkap di Narogong, Bekasi tahun 2010 lalu, setelah berhasil lolos dari sergapan Densus 88 Antiteror Mabes Polri di Aceh. Dia tahun yang sama dia disidangkan dan divonis 10 tahun penjara. “Tuntutannya 15 tahun penjara, dan saya tidak banding,” katanya.

Selama ini publik mengenal sosok Sofyan sebagai bagian dari pelatihan militer jaringan pelaku terorisme di bukit Jalin, Janto, Aceh, sebagai penyedia senjata api dan amunisi. Tapi dia menolak disebut hanya berperan ‘di balik layar’ di jaringan pelaku. Ia mengaku ikut beraksi dan sempat mengakibatkan 3 orang anggota kepolisian tewas tertembak.

“Penyergapan di Aceh saya ikut tembak-tembakan,” kata Sofyan. Sebagai spacialis penyedia senjata dan amunisi, dia juga menyebut dosa-dosanya sangat besar. Dalam BAP yang juga dibacakan di persidangan, Ia didakwa telah menyelundupkan 40 senjata api berbagai jenis, 50 ribu butir amunisi, dan ratusan megazen. “Semua itu saya bagi-bagikan ke jaringan. Saya memang hanya terlibat di Aceh, tapi senjata dari saya dipakai di mana-mana. Dipakai Dulmatin juga untuk nembak polisi,” tandasnya.

Merasa sangat berdosa dengan apa yang sudah dilakukannya, sejak dinyatakan bebas bersyarat pada tahun 2016 dia sudah terlibat di aksi deradikalisasi, menyembuhkan pelaku terorisme lain. Untuk aksinya itu Sofyan mengaku dipekerjakan oleh instansi terkait, mulai dari Densus 88 Antiteror Mabes Polri hingga Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).

“Saya kan gak mungkin bisa masuk (ke dalam Lapas) kalau gak didampingi aparat,” ujar Sofyan. Dia tak dapat memastikan berapa jumlah tersangka atau terpidana terorisme yang sudah dikunjunginya. Namun sejak 2016 hingga saat ini jumlahnya ditaksir mencapai 50 orang. “Yang sudah bebas ada. Alhamdulillah mereka bebas dengan kondisi sudah sembuh. Ada juga yang sekarang masih di dalam,” ujarnya.

Memastikan terpidana kasus terorisme kembali memiliki pemahaman keagamaan dan nasionalisme yang benar sebelum dibebaskan, masih kata Sofyan, merupakan target utama dari ‘penebusan dosa’ yang dilakukannya. Ya, Sofyan memang menyebut aktifitasnya melakukan pendampingan terhadap narapidana sebagai penebusan atas dosa-dosa yang sudah dilakukannya di masa lampau.

“Saya dulu menjadi teroris karena literasi yang keliru, asupan informasi dan ilmu yang menyesatkan. Maka ketika saya bisa membantu menyembuhkan, literasi juga yang saya lakukan, membekali kawan-kawan narapidana dengan ilmu yang sebenarnya,” jelas pria yang mengaku pernah 4 tahun mengenyam pendidikan agama di pondok pesantren salafiyah itu.

Sofyan yang tercatat pernah menjadi anggota kepolisian di Korps Satuan Brimob tersebut menegaskan, memiliki bekal ilmu agama membuatnya merasa menanggung beban untuk berbagi kepada orang-orang yang senasib dengannya. Aktifitas pendampingan terhadap narapidana diniatinya sebagai dakwah. “Semoga dakwah ini sekaligus membuat saya mendapatkan ampunan dari Allah,” pungkasnya. [jun/shk]