Jakarta, buletinnusantara – Pemerintah Indonesia dalam setiap kebijakannya kerap hanya menyasar peningkatan pertumbuhan perekonomian yang lebih tinggi. Namun sayangnya, tidak terlalu serius meningkatkan pemerataan.

Faktanya, berdasar data Bappenas, dari sisi rasio gini atau ketimpangan ekonomi antar penduduk Indonesia per akhir 2015 saja masih cukup tinggi mencapai angka 0,413.

Menurut Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Said Aqil Siroj, selama ini perekonomian nasional masih dinikmati oleh para konglomerat. Sementara masyarakat pedesaan masih belum menikmati kue-kue pertumbuhan.

“Makanya, bagi PBNU, ekonomi kerakyatan harus ditingkatkan. Tidak hanya menggenjot pertumbuhan perekonomian mencapai 6-6,5 persen. Itu bagus, tapi yang terpenting adalah pemerataan. Jangan sampai kekayaan modal negeri ini hanya dikuasi oleh para konglomerat,” tandas Kyai Said, dalam sambutan Rapat Pleno di Ponpes Khas Kempek, Cirebon, Jawa Barat, Minggu (24/7).

Contoh yang paling nyata, kata Kyai Said, adalah terkait penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR). Selama ini penyaluran KUR belum bisa menyentuh ke masyarakat miskin yang hanya butuh Rp1-2 juta saja untuk mengembangkan usahanya.

Akan tetapi, mereka-mereka yang dapat penyaluran KUR adalah mereka-mereka yang memiliki jaminan atau koleteral.

“NU melihat, penyaluran KUR selama ini sudah gagal. Karena tidak tepat sasaran (dalam penyalurannya),” tegas Kyai Said.

Seperti diketahui, pemerintah sendiri sudah menganggarkan KUR sebanyak Rp100 triliun di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016, meningkat tiga kali lipat lebih dari tahun 2015 yang sebesar Rp30 triliun.

Menurutnya, ekonomi kerakyatan adalah menjadi fundamental perekonomian nasional. Hal ini sudah teruji dalam krisis 1998, di mana ekonomi kerakyatan yang menyelamatkan negara dari krisis. Bukan para konglomerat, pengemplang perbankan nasional, atau pemilik modal besar.

“Makanya NU akan selalu berusaha untuk membangun kekuatan rakyat dari sisi agama, akhlak, dan termasuk perekonomian. Tapi tanpa menyimpang dari aturan,” tutur Said.

Lebih jauh dia juga menyebutkan, PBNU juga mengkritisi anggaran pendidikan yang mencapai ratusan triliun, tapi tidak menyentuh ke dunia pondok pesantren. Padahal kontribusi ponpes terhadap pembangun tak perlu diragukan lagi.

Di tempat yang sama, Ketua Panitia Rapat Pleno KH Eman Suryaman menegaskan, saat ini masyarakat pedesaan dan pondok pesantren masih jauh dari kata kesejahteraan. Untuk itu, dari Rapat Pleno ini akan siadakan isu-krusial terkait ekonomi kerakyatan.

“Sehingga rekomendasinya akan menjadi masukan pemerintah. Yang pada akhirnya akan berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat, terutama di pedesaan,” ungkap Eman.