Cirebon, buletinnusantara – Jamaah Nahdlatul Ulama (NU) yang berjumlah puluhan juta memang potensial menjadi pasar besar untuk menjadi konsumen semata.
Padahal semestinya, menurut Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Marsudi Syuhud dengan jumlah warga Nahdliyin yang banyak itu sangat kuat peluangnya menjadi kekuatan ekonomi, jika diberdayakan melalui ekonomi kerakyatan.
Sehingga nantinya, NU bukan lagi hanya pasar besar, melainkan bisa menciptakan pasar-pasar baru.
“Diharapkan, NU dengan umat yang besar ini, jangan sampai umatnya cuma jadi target market. Mestinya menjadi pembuat market, atau minimal pengguna market,” tandas KH Marsudi di sela acara Rapat Pleno PBNU, di Ponpes Kempek, Cirebon, Jawa Barat, Minggu (24/7/2016).
Untuk itu, lanjut dia, warga Nahdliyin harus mampu menginisiasi market itu sendiri. Agar bisa tercipta seperti itu, pengembangan ekonomi kerakyatan menjadi hal mutlak. Sehingga akan lahir para enterpreneur atau wira usaha dari kantong-kantong NU.
“Kalau secara nasional, Indonesia hanya memiliki 1,5 persen enterpreneur. Padahal kalau mau menjadi negara maju, jumlah wira usahanya harus banyak,” tegasnya.
Negara lain seperti Amerika Serikat ada 12 persen, Singapura 7 persen, Malaysia 5 persen, dan Thailand 3 persen. Ke depan, pengusaha-pengusaha baru harus banyak lahir, terutama dari NU.
Untuk itu, menurut dia, NU berperan penting dalam menciptakan para enterpreneur baru tersebut. “Melalui kemandirian ekonomi yang berbasis di pesantren. Itu yang terus kita kembangkan dan motivasi,” tandasnya.
Termasuk juga diperkuat dengan dalil-dalil fiqih yang mengajarkan soal kemandirian ekonomi. Cuma sayangnya, sebut Marsyudi, selama ini kurang membumi.
Makanya, NU ingin mengembalikan budaya Islam Nusantara ini di sentra-sentra bisnis, seperti dulu Islam yang datang ke Nusantara juga lewat pendekatan bisnis. Sejauh ini, NU sudah mulai rajin menyasar pasar lain, salah satunya ke pasar modal dengan merilis produk reksadana.
Namun demikian, ia mengingatkan, untuk mengembangkan ekonomi kerakyatan ini jangan hanya bergantung ke pemerintah. Pemberdayaan ekonomi warga Nahdliyin tetap digenjot kendati tanpa campur tangan pemerintah.
Dengan begitu, ketika pemerintah menggelindingkan program pengembangan ekonomi, warga NU sendiri sudah siap. Seperti program Kredit Usaha Rakyat (KUR).
Selain itu, kata dia, NU juga harus mampu mendekatkan permodalan terhadap rakyat. Dengan skema kredit yang tidak memberatkan, bahkan bisa dilakukan secara informal.
“Jadi lembaga keuangan ritel ini perlu juga. Bahkan nantinya, karena untuk rakyat pedesaan, pelayanannya juga tidak perlu secara formal. Yang datang pakai sarung dan sandal juga tetap bisa dilayani,” ujarnya.
Dia bertekad, sekarang saatnya harus kembali menarik dana-dana dari kota ke desa. Setelah selama ini, bank-bank besar sudah begitu masif menarik dana-dana desa untuk dibawa ke kota.
“Nah, bagaimana uang ini bisa terdistribusi ke desa-desa kembali? Kalau tidak kita motivasi tidak akan tergerak. Dan ini lah yang harus dikerjakan NU,” pungkas Kiai Marsudi.