Jakarta, Buletinnusantara.com – Direktur Eksekutif NU Care, Syamsul Huda menjelaskan, Nahdlatul Ulama (NU) merupakan organisasi yang berdiri atas dasar dan visi untuk memakmurkan masyarakat. Hal itu telah dicontohkan oleh pendiri NU, yakni Hadratusyekh Hasyim Asy‘ari.
KH. Hasyim Asy‘ari, tepatnya di tahun 1889, menjadi pemeran utama dalam memakmurkan ekonomi masyarakat Tebuireng, Jombang. Tak hanya di bidang ekonomi, beliau juga turut memakmurkan masyarakat Jombang dengan pendidikan lewat pesantren, dan kesehatan lewat pengobatan gratis.
Sebab, selain sebagai seorang kiai atau ulama, Mbah Hasyim juga adalah seorang tabib, kata Syamsul. Gambaran kepedulian Mbah Hasyim, tutur Syamsul, dapat disaksikan dalam novel sejarah yang bertajuk Guru Sejati Hasyim Asy‘ari, yang merupakan hasil riset mendalam serta ditulis oleh Masyamsul Huda.
“Maka itu, dari dulu hingga kini NU ada untuk peduli dan berbagi. Semangat kepedulian dan berbagi ini kembali digulirkan antara lain melalui NU Care. Tidak hanya untuk warga NU, namun bagi masyarakat umum,” kata dia dalam keterangan tertulis yang diterima republika.co.id, Senin (10/10)
Direktur Utama Lembaga Amil Zakat Muhammadiyah (Lazismu), Andar Nubowo mengungkapkan bahwa Muhammadiyah juga lahir dari spirit berbagi. Hal itu bisa disaksikan lewat film biografi, “Sang Pencerah”, ucap Andar.
Menurutnya, Muhammadiyah dan NU memiliki akar yang kuat. Itulah yang membuat dua Ormas ini tetap berjaya hingga sekarang. Muhammadiyah memiliki 13.000 ranting, dan NU memiliki anggota sebesar 91,2 juta jiwa. Begitu menurut LSI (Lembaga Survei Indonesia).
Dengan demikian, NU Care dan Lazismu sangat sepakat dengan program penyelarasan zakat sebagai pengentasan kemiskinan di Indonesia, yang digagas oleh Kementerian PPN/Bappenas.” Dan, jika saja Pemerintah melibatkan NU dan Muhammadiyah dalam program pengentasan kemiskinan ini, maka boleh dibilang Pemerintah melakukan langkah yang tepat, dengan melihat NU dan Muhammadiyah yang memiliki akses hingga ke desa-desa,” kata dia.
Kemudian, dengan mempertimbangan langkah positif dan progresif itu, NU Care dan LAZISMU mendorong pemerintah meregulasi peraturan zakat, yang termaktub dalam UU Zakat Nomor 22 dan 23 Tahun 2011. Niat pemerintah dengan mengeluarkan UU tersebut memang sangat baik, mengingat zakat sebagai salah satu instrumen pengentasan kemiskinan.
Namun, seolah setengah-setengah. Padahal zakat dalam UU tersebut menjadi instrumen fiskal kedua setelah pajak. NU Care dan Lazismu menyatakan suaranya bahwa regulasi ini penting disegerakan.
Dalam UU tersebut, status zakat hanya sebagai “pengurang penghasilan kena pajak”. Klausul inilah yang menjadikan wajib pajak serta wajib zakat harus menambah beban pengeluaran jika ingin menunaikan kewajiban negara dan kewajiban agama sekaligus.
Mestinya jika pemerintah benar-benar serius hendak melakukan intervensi dalam pengelolaan zakat, maka hal mendasar yang harus dikuatkan adalah merubah regulasi “zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak” menjadi “zakat sebagai pengurang pajak”.
Dengan begitu, para wajib pajak sekaligus dapat menunaikan zakatnya tanpa harus menambah beban pengeluaran. Kewajiban bernegara dan kewajiban beragama dapat terpenuhi sekaligus tanpa harus menambah beban pengeluaran. Masyarakat pun menjadi warga yang taat pajak serta taat zakat. Dengan adanya perubahan regulasi tersebut, NU Care dan Lazismu percaya bahwa potensi besar zakat di Indonesia yang belum digarap secara optimal dapat terselesaikan.
Sebelumnya, NU CARE dan LAZISMU melakukan konferensi pers pada 20 September 2016 telah membahas topik regulasi zakat, di Gedung PBNU. Dan boleh dikatakan kalau kedua lmbaga ini memang merespon serius tentang penguatan (perubahan) regulasi zakat ini. (jun)