Jakarta, Buletinnusantara – Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro memprediksi perekonomian Indonesia hanya akan tumbuh 4,8 persen pada tahun ini, jauh di bawah target 5,7 persen dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN) APBNP 2015. Prediksi Bambang ini juga lebih pesimistis jika dibandingkan dengan ramalan terakhirnya yang sebesar 5 persen.
“Memang agak berat ya, tahun ini sekitar 4,8 persen lah,” ujar Bambang singkat saat ditemui di kantornya, Jakarta, Jumat (6/11).
Untuk bisa tumbuh 4,8 persen, Bambang mengatakan setidaknya pertumbuhan ekonomi kuartal IV 2015 harus mencapai 5 persen.
“Semoga bisa 5 persen lah,” ujarnya.
Proyeksi serupa juga diungkapkan Ekonom Bank UOB Indonesia Ho Woei Chen, setelah melihat pertumbuhan ekonomi kuartal III 2015 yang lebih rendah dibandingkan ekspektasi pasar 4,8 persen.
Menurutnya, dengan akumulasi pertumbuhan ekonomi tahun kalender (Januari-September 2015) sebesar 4,71 persen, UOB mempertahankan proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun ini sebesar 4,8 persen.
“Kami tidak mengubah prediksi. Diperkirakan tetap 4,8 persen pada tahun ini. Sedangkan tahun depan bisa naik menjadi 5,4 persen,” kata Ho dalam rilis yang diterima.
Sementara Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo yang juga kecewa dengan realisasi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang ada dibawah ekspektsi BI, mengaku tidak berencana merevisi prediksi pertumbuhan ekonomi hingga akhir tahun.
“Kami sekarang ini prediksi (pertumbuhan ekonomi) untuk 2015 antara 4,7 sampai 5,1 persen. Tentu kami harapkan ada pengeluaran pemerintah yang baik di kuartal keempat dan juga swasta yang akan melakukan investasi dan akan melakukan upaya untuk mendorong ekonomi,” ujarnya.
Selain itu, Agus kembali mengingatkan Indonesia masih harus mewaspadai pergerakan ekonomi dunia, terutama perkembangan ekonomi China dan Amerika Serikat.
“Dua risiko utama itu kelihatannya akan banyak berdampak pada negara-negara di dunia. Jadi kita juga perlu waspada,” ujarnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, pada akhir tahun ini Bank Sentral AS (The Federal Reserve) diperkirakan akan menaikkan tingkat suku bunga acuannya (Fed fund rate). Hal itu menimbulkan risiko pembalikan modal (capital reversal) dari negara berkembang, salah satunya Indonesia, ke negara maju.