Oleh; Aris Adi Leksono, M.M.Pd

Berbagai perspektif tentang keunggulan dalam dunia pendidikan, telah membawa pada pertanyaan tentang apa keunggulan madrasah?, apa prestasi madrasah?, capaian UN kah?, juara atas lomba science kah?, ataukah justru semua itu hanya keunggulan sementara, untuk memperkaya keunggulan utama madrasah. Ataukah sejatinya dalam konsepsi lain madrasah sudah unggul berprestasi.

Dalam ungkapan sederhana sering kita membandingkan madrasah dengan sekolah atau lembaga pendidikan lainnya. Kesimpulannya selalu berujung pada kalimat “rumput tetangga lebih subur”. Akibatnya semakin mempertebal mental block atau ketidak pede-an untuk mengatakan madrasah lebih baik, madrasah hebat, madrasah bermartabat, atau jargon optimisme lainnya.

Dalam konsepsi manajemen mutu memang dibenarkan membuat pola perbandingan. Dengan tujuan melakukan analisis strategis kelemahan dan kelebihan, sehingga dapat menentukan langkah alternatif untuk mencapai standart mutu yang ditetapkan. Tapi bukankah dalam membandingkan dibutuhkan konsep “kekufuan” kesamaan pada obyek, ruang lingkup, tujuan lembaga, dan alat ukur yang tepat, sehingga hasil perbandingan dapat obyektif untuk memformulasikan solusi alternatif yang cepat dan tepat.

Ataukah sebenarnya sederet pertanyaan tentang keraguan keunggulan madrasah tersebut adalah bentuk cellence untuk memicu kemajuan madrasah secara masif dan berkesinambungan. Tapi tentu harus didasari bacaan bahwa adanya keunggulan perantara dan keunggulan akhir. Tulisan ini mencoba untuk menelaah ulang tentang tujuan utama pendidikan madrasah, sehingga keunggulan apa yang seharusnya dikembangkan bersama, dan menjadi gaiden dalam langkah-langkah strategis penyelenggaraan madrasah.

Konsepsi dan Perkembangan Pendidikan Madrasah
Mengacu pada Peraturan Menteri Agama Nomor 60 tahun 2015 tentang perubahan atas Peraturan Menteri Agama Nomor 90 Tahun 2013 tentang penyelenggaraan Madrasah disebutkan bahwa madrasah adalah pendidikan formal di bawah binaan menteri agama yang menyelenggarakan pendidikan umum dan kejuruan dengan kekhasan agama Islam yang mencakup raudlatul athfal, madrasah ibtidaiyah, madrasah tsanawiyah, madrasah aliyah dan madrasah aliyah kejuruan.

Gibb and Kramers (1981:300) mengartikan madrasah sebagai ”name of an institution where the Islamic science are studied.” Menurut Mircea Eliade (1993 : 77) “madrasah is an educational institution devoced to advanced studies in the Islamic religious sciences”.

Selain itu Zuhairini (1993 : 25) memaknai madrasah sebagai tempat belajar yang mengajarkan ajaran-ajaran agama Islam, ilmu pengetahuan dan keahlian lainnya yang berkembang pada jamannya.

Madrasah mulai didirikan dan berkembang pada abad ke 5 H atau abad ke-10 atau ke-11 M. pada masa itu ajaran agama Islam telah berkembang secara luas dalam berbagai macam bidang ilmu pengetahuan, dengan berbagai macam mazhab atau pemikirannya. Pembagian bidang ilmu pengetahuan tersebut bukan saja meliputi ilmu-ilmu yang berhubungan dengan al-Qur’an dan hadis, seperti ilmu-ilmu al-Qur’an, hadits, fiqh, ilmu kalam, maupun ilmu tasawwuf tetapi juga bidang-bidang filsafat, astronomi, kedokteran, matematika dan berbagai bidang ilmu-ilmu alam dan kemasyarakatan.

Aliran-aliran yang timbul akibat dari perkembangan tersebut saling berebutan pengaruh di kalangan umat Islam, dan berusaha mengembangkan aliran dan mazhabnya masing-masing. Maka terbentuklah madrasah-madrasah dalam pengertian kelompok pikiran, mazhab atau aliran. Itulah sebabnya sebagian besar madrasah didirikan pada masa itu dihubungkan dengan nama-nama mazhab yang masyhur pada masanya, misalnya madrasah Syafi’iyah, Hanafiyah, Malikiyah atau Hanbaliyah.

Pada konteks perkembangan madrasah di Indonesia, banyak dijumpai aspek-aspek historis yang menarik, diataranya, era penjajahan Belanda, pendidikan Islam berada dalam pada fase eksperimentasi materi dan metodologi pembelajarannya. Lembaga pesantren merupakan cikal-bakal format pendidikan Islam, yang kemudian melakukan improvisasi melalui adaptasi dengan sistem sekolah ala Belanda itu sendiri. Ada yang mengambil utuh kurikulum Belanda, lalu menambahkan jam pelajaran agama, tetapi ada yang hanya memakai sistem sekolah dan metodologi pembelajarannya saja, sementara materinya tetap pelajaran agama (Aqib Suminto, 1986 : 64).

Pada era penjajahan Jepang pendidikan agama Islam ditangani secara khusus. Pemerintah Jepang membuat relasi-positif dengan kiai dan ustadz, yang kemudian membuat kantor urusan agama (shumubu). Setelah tahun 1945 – tepatnya tanggal 3 Januari 1946 – kantor ini menjadi kementrian agama. Dalam tahun-tahun pertama, kementrian agama membuat divisi khusus yang menangani pendidikan agama di sekolah umum dan pendidikan agama di sekolah agama (madrasah dan pesantren).

Terminologi “modernisasi madrasah” tampaknya mulai menguat era Orde Baru melancarkan manuver-manuver politik pendidikannya. Baik melalui jalan formalisasi, yaitu usaha penegerian madrasah, maupun jalan strukturisasi – yaitu penjenjangan madrasah dengan mengacu pada aturan Kementerian Pendidikan Nasional termasuk desain kurikulumnya.

Menelaah konsepsi dan perkembangan tersebut, dapat disimpulkan bahwa madrasah memang sudah memilih keunikannya dalam bentuk berciri khas keagamaan. Terbukti sejarah perkembangan penyelenggaraan madrasah pada setiap fase zamannya tidak lepas dari diskursus agama dan keagamaan. Artinya madrasah memang memiliki proyeksi lebih dari sekolah pada umumnya, ia ingin mewujudkan generasi dengan keunggulan “tafaqquh fiddin”. Tentunya keunggulan itu sejalan dengan nilai kearifan lokal, dan responsif terhadap perkembangan zaman.

Sebagaimana Albert Einstein, seorang ilmuwan Yahudi pernah mengatakan “ilmu tanpa agama buta, agama tanpa ilmu lumpuh” Ada dua entry point disini pertama, tentang pentingnya agama untuk mendasari ilmu pengetahuan dan yang kedua perlunya ilmu pengetahuan dalam pengamalan agama.

Unggul dalam Tafaqquh Fiddin
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata unggul berarti lebih tinggi (pandai, baik, cakap, kuat, awet, dan sebagainya) daripada yang lain-lain; utama (terbaik, terutama). Sementara itu, perkembangan dewasa ini, atau dikenal dengan fase disruptif menunjukkan era yang bersifat horizontal, inklusif dan sosial. Era yang telah diisi dengan keberagaman keahlian manusia dan kompleksitas permasalahan sosial. Era yang penuh persaingan dan menyeluruh pada semua aspek kehidupan masyarakat. Artinya, untuk menghapi era disruptif ini tidak sertamerta butuh unggul saja, tapi juga butuh keunggulan kompetitif, kolaboratif dan literatif.

Fred David mendefinisikan keunggulan kompetitif sebagai “apa pun yang perusahaan lakukan lebih baik dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan saingan”. Ketika perusahaan dapat melakukan sesuatu yang tidak dapat dilakukan perusahaan saingan atau memiliki sesuatu yang diinginkan perusahaan saingan, maka itu dapat merepresentasikan keunggulan kompetitif (David, 2011, p. 9)

Pada pengtian pakar manajemen strategic lain berpendapat bahwa manusia unggul adalah manusia yang mempunyai berbagai kelebihan. Keunggulannya tidak hanya memiliki satu kelebihan. Melainkan memiliki berbagai skill yang dibutuhkan. Manusia unggul ini selalu berorientasi menjadi yang terdepan. Dan, Manusia unggul pastinya berbeda dengan manusia pada umumnya. Perbedaan manusia unggul umumnya terletak pada kemampuan yang dimiliki baik skill dalam menyelesaikan segala persoalan dengan tepat dan cepat maupun kemampuan dalam hal berinovasi menciptakan sesuatu yang baru.

Jika mengacu pada narasi tersebut, maka dapat disimpulkan keunggulan memang diperlukan dalam pengembangan madrasah. Tetapi di era milllenial saat ini, bukan sekedar perlu unggul, tapi yang butuhkan adalah keunggulan kompetitif. Dalam manajemen strategic, keunggulan kompetitif salah satu indikatornya adalah ke-khas-an atau ke-unik-an kelembagaan madrasah, yakni tafaqquh fiddin.

Optimalisasi Tafaqquh Fiddin Madrasah
Jelas bahwa sejak awal berdirinya, madrasah adalah lembaga pendidikan formal yang berciri khas keagamaan dan agama (tafaqquh fiddin). Nomenklatur konsep tersebut sangat jelas tercantum dalam landasan normatif pendidikan madrasah. Lebih dalam lagi dalam landasan teologis, disebutkan bagaimana sesungguhnya tafaqquh fiddin adalah fitrah dasar pengembangan dan pemberdayaan umat, sebagaimana firman Allah dalam Q.S Attabah, 122,
Artinya: tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.

Ayat tersebut merupakan isyarat tentang wajibnya pendalaman agama dan bersedia mengajarkannya di tempat-tempat pemukiman serta memahamkan orang-orang lain kepada agama sebanyak yang dapat memperbaiki keadaan mereka. Sehingga mereka tak bodoh lagi.

Menurut KH. Sahal Mahfudh Tafaqquh fiddin dapat dipahami dari dua arah, pertama dipahami secara sempit, yaitu pemahaman ilmu-ilmu agama saja. Dan yang kedua dipahami secara luas, yaitu pendalaman ilmu-ilmu agama dan ilmu yang mendorong pencapaian kebaikan di dunia dan akhirat.

Menurut terjemahan tafsir Kementerian Agama, Tafaqquh fiddin yang tersurat dalam ayat 122 dari surat at-Taubah adalah: kewajiban menuntut ilmu pengetahuan yang ditekankan dalam bidang ilmu agama. Namun agama adalah sistem hidup yang mencakup seluruh aspek dari segi kehidupan manusia. Setiap ilmu yang berguna dan dapat mencerdaskan umat serta mensejahterakan kehidupan mereka dan tidak bertentangan dengan norma-norma agama.

Menurut Ibnu Katsier Tafaqquh fiddin adalah mempelajari apa yang telah diturunkan Allah kepada Rasul-Nya, mendengarkan apa yang telah terjadi pada manusia dan apa yang diturunkan Allah kepada mereka.

Menurut al-Maraghi at-taubah ayat 122 tersebut memberi isyarat tentang kewajiban memperdalam ilmu agama (wujub al-tafaqquh fi al-din) serta menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk mempelajarinya dalam suatu negeri yang telah didirikan dan mengajarkannya kepada manusia berdasarkan kadar yang diperkirakan dapat memberikan kemaslahatan bagi mereka sehingga tidak membiarkan mereka tidak mengetahui hukum-hukum agama yang pada umumnya harus diketahui oleh orang-orang yang beriman. Menyiapkan diri untuk memusatkan perhatian dalam mendalami ilmu agama dan maksud tersebut adalah termasuk kedalam perbuatan yang tergolong mendapatkan kedudukan yang tinggi dihadapan Allah, dan tidak kalah derajatnya dengan orang-orang yang berjihad dijalan Allah dengan harta dan jiwanya, bahkan upaya tersebut kedudukannya lebih tinggi dari mereka yang keadaannya tidak sedang berhadapan dengan musuh. Berdasarkan keterangan ini maka mempelajari fikih itu wajib, walaupun kata tafaqquh  tersebut umumnya berarti memperdalam ilmu agama, termasuk ilmu fikih, ilmu kalam, ilmu tafsir, ilmu tasawuf dan lain sebagainya.

Dalam perspektif sosiologis, sangat jelas bahwa revolusi industri 4.0 menuntut generasi yang unggul, berdaya saing dan berkarakter. Sehingga dia mampu survive dalam kehidupan bermasyarakat baik pada skala lokal, regional, nasional maupun global. Untuk mewujudkannya tidak hanya dibutuhkan hard skiil dan soft skiil. Pada ranah penguatan soft skill inilah, domain tafaqquh fiddin madrasah mewarnai. Sehingga madrasah mampu melahirkan generasi cerdas, terampil, kreatif, inovatif, serta berkarakter yang dilandasi nilai tafaqquh fiddin yang kuat dunia dan akhirat.

Walhasil, bersyukur bangsa Indonesia memiliki sistem pendidikan pesantren, yang telah membidangi lahirnya madrasah, sehingga nilai-nilai luhur santri masih mewarnai penyelenggaraan madrasah, utamanya dalam menjaga keunggulan tafaqquh fiddin. Dewasa ini, seiring berkembangnya tuntutan zaman, ilmu pengetahuan berbasis science dan match, teknologi informasi, ekonomi digital, dan lainnya, telah menuntut penyesuaian sistem pendidikan madrasah. Tapi tentu jangan sampai menggeser keunggulan berbasis ke-unik-an dan ke-khas-an tafaqquh fiddin yang memang sudah teruji kebermaknaannya dalam lintas zaman dan generasi.

Tentu madrasah harus melahirkan generasi yang tidak hanya cerdas intlektual, tapi juga cerdas spiritual dan emosional. Kalau Gagne memunculkan teori multiple intlegensi, maka madrasah bertugas membingkai semua itu dengan nilai-nilai tafaqquh fiddin.

Sesuai jargon madrasah hebat, bermartabat, maka patut dibanggakan keunggulan madrasah dalam hal tafaqquh fiddin, dengan berbenah dalam keunggulan perantara lainnya, seperti; scinece dan tekhnologi.

 

Penulis adalah: Ketua Pimpinan Pusat Persatuan Guru Nahdlatul Ulama/ Ketua MGMP Fikih MTs DKI Jakarta