Oleh: Slamet Tuharie Ng I Penulis Buku Islamuna; Fenomena Keberislaman Kita

Ramai pemberitaan soal Densus 88 yang menangkap anggota Komisi Fatwa MUI terkait dugaan tindak pidana terorisme menjadi perbincangan hangat sejak kemarin. Terlepas dari pro kontra tentang penangkapannya, satu hal yang menjadi pertanyaan saya adalah bagaimana screening yang dilakukan oleh MUI dalam menjaring pengurus-pengurus di dalamnya? Mengapa saya menanyakan hal ini?

Ahmad Zain an-Najah yang merupakan anggota Komisi Fatwa MUI sejauh ini diketahui merupakan Dewan Syuro Jamaah Islamiyah (JI). Organisasi tersebut di Indonesia sudah dinyatakan sebagai organisasi terlarang melalui Keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tahun 2007. Namun, nyatanya anggota dewan syuronya masih bisa menjadi pengurus MUI. Menurut saya, ini adalah salah satu pekerjaan rumah bagi MUI agar dalam sistem pemilihan pengurus juga didasarkan atas track record baju organisasi Islam yang pernah disandangnya.

JI yang disebut-sebut dipimpin oleh Abu Bakar Ba’asyir ini berafiliasi dengan kelompok Taliban dan Al-Qaeda yang merupakan kelompok terlarang di Indonesia yang oleh Amerika telah dinyatakan sebagai organisasi teroris. Kelompok JI ini disinyalir telah beberapa kali melakukan aksi terorisme di Indonesia, antara lain; pengeboman Hotel J.W. Marriot (2003), pengeboman Kedutaan Besar Australia (2004), Bom Bali I (2002), Bom Bali II (2005) dan juga bom ITC Depok (2015). Sosok seperti Ali Ghufron, Imam Samudra, Dr. Azahari dan Nordin M. Top adalah sedikit dari sosok yang diketahui terlibat dari aksi-aksi terorisme di Indonesia, yang kesemuanya adalah anggota JI.

Inilah yang lagi-lagi harus menjadi perhatian bagi MUI dalam menyeleksi pengurus-pengurusnya. Menurut saya, MUI tidak hanya harus diisi oleh tokoh-tokoh Islam dari perwakilan ormas-ormas Islam, tapi juga ulama/tokoh Islam yang memiliki pemahaman kebangsaan yang baik sebagaimana telah disepakati oleh para pendiri Republik Indonesia.

Memang, harus diakui bahwa MUI adalah rumah bagi para ulama dan zuama (cendekiawan) yang bukan saja bagi satu dua organisasi kemasyarakatan Islam, tapi untuk berbagai organisasi Islam dengan beragam aliran pemikiran yang bermacam-macam, baik dari sudut aqidah, fiqh, hingga pandangan politik kebangsaan. Inilah tantangan berat bagi MUI itu sendiri. Belum lagi pandangan-pandangan personal MUI yang padanya melekat nama MUI yang tidak jarang malah membuat ‘kegaduhan’ di masyarakat dengan berbagai pandangan pribadinya.

Tentu hal ini juga semakin menambah tantangan bagi lembaga yang bernama MUI tersebut. Karena bagaimana pun, seorang anggota MUI ketika mengeluarkan statemen A, B, atau C akan melekat padanya label MUI nya.

*Riuh Jagat Maya: Bubarkan atau Pertahankan?*

Pasca penangkapan Ahmad Zain an-Najah bersama dengan lainnya yang dilakukan oleh Densus 88, dunia maya kemudian diramaikan dengan perbincangan soal dukungan terhadap keberadaan MUI dan juga pembubaran MUI dari negara ini. Ada kelompok-kelompok masyarakat yang menginginkan MUI dibubarkan dengan berbagai pertimbangan. Namun tidak sedikit pula yang tetap menginginkan keberadaan MUI di Indonesia juga dengan berbagai alasan. Lalu, sebenarnya apakah Indonesia masih butuh dengan MUI?

Tidak mudah menjawab soal dukungan keberadaan dan pembubaran MUI yang riuh di jagat maya akhir-akhir ini. Namun, jauh sebelum ini, Gus Dur merupakan salah satu tokoh yang sangat vokal meminta MUI dibubarkan. Menurut Gus Dur, MUI dianggap sebagai penyebab munculnya fundamentalisme dan radikalisme. Gus Dur menilai bahwa Indonesia bukan negara Islam, Indonesia adalah negara nasional, sehingga soal fatwa-fatwa bisa dikeluarkan oleh ormas-ormas Islam dan MUI tidak boleh gegabah dalam mengeluarkan pendapat. Hal ini yang disampaikan Gus Dur dalam acara Catatan Akhir Tahun Gus Dur, di Jakarta pada 30 Desember 2007 silam.

Pernyataan Gus Dur tak ada yang salah, nyatanya di NU misalnya adalah lembaga fatwa yang Namanya Lembaga Bahtsul Masail (LBM) NU, di Muhammadiyah ada Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah dan begitu pula di organisasi-organisasi Islam lainnya. Masalahnya adalah tidak selalu dalam menyikapi sebuah hal lembaga-lembaga fatwa di masing-masing ormas Islam memiliki pandangan yang sama. Di sinilah keberadaan MUI sebagai lembaga fatwa di satu sisi dianggap penting, agar ada fatwa yang secara umum bisa dijadikan rujukan oleh publik.

Namun, harus diingat pula bahwa pada dasarnya fatwa yang dikeluarkan oleh MUI tidak punya kekuatan untuk memaksa atau harus ditaati oleh seluruh umat Islam. Hal ini karena mengingat sifatnya yang merupakan pendapat. Kecuali, jika fatwa MUI tersebut masuk dalam undang-undang atau peraturan daerah sehingga menjadi hukum positif.

Jika demikian posisinya, mengapa fatwa negara tidak dikeluarkan oleh Kementerian Agama saja? Jika MUI sebagai wadah dari para ulama dan zuama dari berbagai umat Islam, maka Kementerian Agama adalah payung bagi semua agama. Mungkin ini akan menjadi solusi alternatif jika pemerintah memiliki lembaga fatwa di bawah Kementerian Agama yang terdiri dari lembaga-lembaga fatwa dari berbagai ormas Islam, meski hal ini kelihatannya tidak mudah.

Sekali lagi, ada sekian banyak alasan membubarkan atau mempertahankan MUI, yang jelas bahwa penangkapan terhadap anggota Komisi Fatwa MUI dengan dugaan tindak pidana terorisme tidak bisa jadi alasan untuk membubarkan MUI begitu saja. Namun demikian, hal ini juga harus menjadi perhatian serius bagi MUI agar marwah lembaga MUI tetap terjaga dari stigma-stigma negatif di tengah kepercayaan masyarakat yang masih tinggi terhadap MUI.