NAMA Zahid bin Mahmud sebagai tukang cerite, sebutan bagi pendongeng di Betawi, demikian tersohor di Jakarta pada era 1960-1970-an. Saking populernya lelaki Tanah Abang itu sampai-sampai muncul istilah ngejaid untuk menyebut kegiatan mendongeng. Dongeng Zahid sangat digemari lantaran ia berkisah dengan menyenangkan dan kerap membumbuinya dengan  humor.

Tradisi tukang cerite memang telah lama ada di kalangan masyarakat Betawi. Hikayat Nyai Dasima karya G. Francis tahun 1896 sudah menyebut perihal tukang cerite. Kisah Nyai Dasima sendiri dipercaya sebagai kejadian faktual di era 1820-an. Sejak masa tersebut hingga era Zahid, Betawi tak pernah kehabisan tukang cerite dengan gayanya masing-masing.

Tradisi mendongeng inilah yang sepertinya menginspirasi H. Mahbub Djunaidi. Pria yang juga berasal dari Tanah Abang itu memang bukan tukang cerite seperti Zahid, melainkan jurnalis kawakan. Mahbub terkenal sebagai kolumnis yang mampu menulis soal politik secara ringan, menyampaikan kritik dengan halus dan riang. Seperti pendongeng, ia memadukan cerita dan humor yang memikat pembaca.

Mahbub bukan tipe pemikir yang menuliskan bangunan paradigma secara utuh. Esai-esainya menggambarkan ia begitu percaya pada demokrasi berikut dinamika politiknya. Ia meyakini kesejahteraan masyarakat harus diperjuangkan lewat politik. Secara konsisten ia menampik jika pembangunan mesti mengorbankan bagian masyarakat tertentu, terutama lapisan bawah.

Mahbub lahir pada 27 Juli 1933. Ayahnya K.H. Muhammad Djunaidi, tokoh NU yang pernah menjadi anggota DPR hasil pemilu 1955. Ketika keluarganya mengungsi di Solo pada awal kemerdekaan, ia masuk madrasah dan oleh seorang gurunya diperkenalkan dengan karya-karya modern, seperti Sutan Takdir Alisjahbana, Mark Twain, atau Karl May. Ketika kembali ke Jakarta, ia meneruskan pendidikan di SMP dan SMA yang awalnya berlokasi di Cideng, kemudian pindah ke Jalan Budi Utomo.

Ia sudah rajin menulis sejak SMP. Karya-karyanya telah dimuat di berbagi media massa terkenal saat itu, seperti SiasatMimbar IndonesiaRomanStar Weekly, dan Cinta. Tapi pengalaman yang paling tak terlupakan Mahbub adalah ketika pertama kali cerpennya, Tanah Mati, dimuat majalah sastra Kisah yang digawangi oleh HB Jassin, paus sastra Indonesia. Di SMA ia sempat mengasah bakat jurnalismenya dengan memprakarsai sekaligus menjadi pemimpin redaksi majalah sekolah Siswa.

Tendensi Mahbub kepada dunia politik sudah terlihat dari kegemarannya mengikuti bermacam organisasi pelajar, mahasiswa dan pemuda, sejak ia masih sekolah. Berbagai organisasi, mulai dari IPPI, IPNU, GP Ansor dan HMI. Tahun 1960 ia meninggalkan HMI untuk menjadi Ketua Umum pertama PMII. Di setiap organisasi tersebut Mahbub berperan aktif. Entah sebagai ketua, atau jajaran pucuk pimpinan. Aktivitasnya inilah yang di kemudian hari mengantarnya ke struktur kepengurusan Nahdlatul Ulama.

Karir Mahbub di dunia jurnalistik nasional bermula pada tahun 1958. Ketika itu K.H. Saifuddin Zuhri, mengajaknya membangkitkan lagi Duta Masyarakat, koran NU yang sempat bangkrut. Menurut sahabat Mahbub, almarhum Said Budairy, penunjukkan itu sebetulnya tanpa pertimbangan yang jelas. Namun ternyata Mahbub mampu bertahan di koran tersebut, bahkan menjadi pemimpin redaksi mulai tahun 1960, hingga koran ini kembali berhenti edar pada 1970.

Di koran ini Mahbub mendidik para wartawannya untuk disiplin dalam menulis. Baginya menulis harus sekali jadi. Gagasan mesti selesai di pikiran, baru dituliskan. Chotibul Umam yang menjadi sekretaris Duta Masyarakat di era tersebut, menyaksikan bagaimana atasannya ini marah jika melihat wartawan Duta Masyarakat merobek kertas tulisannya yang tidak jadi. Mahbub sendiri tiap hari menyelesaikan tajuk rencana dalam tempo 1-2 jam.

Diceritakan oleh Said Budairy dalam pengantar buku Asal Usul Mahbub Djunaidi, di koran ini Mahbub mulai berkenalan dengan Soekarno secara pribadi. Ketika itu Presiden Pertama RI ini meminta KH Saifuddin Zuhri mengajak Mahbub ke istana. Soekarno tertarik karena Mahbub menulis, bahwa kedudukan Pancasila lebih sublim dari Declaration of Independence-nya Amerika Serikat yang disusun Thomas Jefferson, atau Manifesto Komunis bikinan Karl Marx dan Frederich Engels.

Pertemuan itu rupanya memberi kesan mendalam pada kedua belah pihak. Sebagaimana diceritakan Mahbub dalam esai Jalan Pintas yang Pernah Dilakukan oleh DPA, Soekarno pernah berniat mengangkat Mahbub sebagai anggota DPA pada tahun 1966, tapi ditolaknya. Sementara Mahbub sendiri mengatakan, “Kalau tidak ada Bung Karno saya tidak yakin persatuan dan kesatuan bangsa terbangun seperti sekarang.”

Pada kurun 1960-1970-an boleh dibilang periode paling sibuk dalam hidup Mahbub. Selama satu dekade itu ia menjadi anggota DPR-GR/MPRS, dan sempat mengetuai Pansus UU Ketentuan Pokok Pers. Para anggota pansus antara lain Sayuti Melik, Rh. Kusnan, Soetanto Martoprasono, serta Said Budairy. Sementara karirnya di dunia jurnalistik kian berkibar dengan terpilih menjadi ketua PWI, tahun 1965 hingga tahun 1970. Hal ini berbarengan dengan aktivitasnya selaku Ketua Umum PMII dan Ketua II GP Ansor.

Semua pencapaian tersebut rupanya tak membuat Mahbub puas. Antusiasme pada sastra mengantarnya memenangkan sayembara mengarang roman Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada 1974, lewat novelnya Dari Hari ke Hari yang menggambarkan era revolusi kemerdekaan Indonesia di Solo melalui kacamata seorang bocah.

Ia memang pernah mengaku lebih suka dianggap sebagai sastrawan dibanding yang lainnya. Tapi baginya menjadi jurnalis dan sastrawan saja tidak cukup. Perubahan mesti diperjuangkan lewat jalur politik dan kalau perlu melakoninya sendiri. Lain halnya dengan Mochtar Lubis, sahabat Mahbub, yang sering digodanya sebagai wartawan pelapor sejarah, bukan pelaku sejarah, karena Mochtar tak mau ikut berpolitik.

Sejak tahun 1977 ketika pemilu pertama kali digelar dengan tiga kontestan, Mahbub merasa kondisi Orde Baru mesti berubah. Ia masuk ke kampus-kampus membicarakan suksesi kepemimpinan nasional. Akibatnya ia ditahan hampir setahun di Nirbaya tanpa pengadilan. Karena sakit ia dipindahkan ke RS Gatot Subroto, dan sejak itu ia tak pernah benar-benar sehat. Dalam masa tahanan inilah ia menulis novel Angin Musim.

Pasca penahanannya, ia kembali aktif di bidang organisasi dan politik. Ia berbalik menggembosi suara PPP di kalangan basis massa NU, ketika unsur-unsur ormas tersebut di PPP disingkirkan oleh Ketua Umum PPP kala itu, H. Naro. Di NU ia sempat menjabat Wakil Ketua Tanfidziyah PB NU ketika Gus Dur mengampanyekan “NU kembali ke Khittah 1926”. Namun kedua tokoh humoris ini akhirnya berselisih pandang soal relasi antara NU dan politik.

Dalam dunia tulis-menulis, Mahbub tetap menyumbangkan pikirannya di berbagai media massa dan secara rutin mengisi kolom Asal Usul di Kompas. Ia juga menerjemahkan beberapa buku, di antaranya 100 Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah (Michael H. Hart) yang selama dua tahun masa terbitnya mengalami 16 kali cetak ulang.

Perihal kolom Asal Usul, diceritakan J.B. Kristanto dalam pengantar antologi Asal Usul, kolom ini muncul sejak 1984, dan beberapa wartawan mengisinya bergantian. Karena dirasa kurang memuaskan, dilakukanlah evaluasi yang serta-merta memunculkan nama Mahbub Djunaidi, yang langsung menyatakan kesediaannya. Maka sejak 23 November 1986 hingga akhir hayatnya, Mahbub menjadi penulis tunggal Asal Usul.

Di balik sifat humor dan riangnya, Mahbub tetap seorang berprinsip teguh. Pada Maret l994 ia diwawancarai tabloid Detik tentang suksesi kepemimpinan nasional. Ia konsisten dengan pendiriannya; “Mengapa tidak etis membicarakan suksesi? Suksesi bukan masalah etis tidak etis. Tapi masalah bagaimana kehidupan kita bersama di waktu mendatang. Saya setuju membicarakan pembatasan masa jabatan Presiden, karena orang yang terlalu lama menjabat, cendrung menyalahgunakan kekuasaannya karena terlanjur mapan,” ujarnya.

Sayangnya ketika Soeharto lengser dari kursi presiden empat tahun sesudah wawancara tersebut, Mahbub telah tiada. Pada 1 Oktober 1995 ia terbebas dari sakit yang bertahun-tahun dideritanya. Dalam sebuah surat untuk keluarganya ia berpesan: “Kebahagiaan itu terletak di dalam hati, bukan pada benda-benda mewah, pada rumah mentereng dan gemerlapan…Hanya kejujuran, kepolosan, apa adanya yang bisa memikat hatiku. Bukan hal-hal yang berlebih-lebihan.”

Apa yang dikatakannya dalam surat tersebut kiranya tak berlebihan. Segala aktivitasnya tak dimanfaatkan untuk mencari kelimpahan materi. Sebuah VW kodok bekas berwarna kebiruan yang digunakannya mengarungi kesibukan sejak era 1960-an, merupakan aset yang dipinjamkan Duta Masyarakat. Begitu pun dengan tempat tinggalnya di Kebayoran Baru.

Selama hidupnya, selain Soekarno, Mahbub juga mengagumi Pramoedya Ananta Toer. Kepada Ridwan Saidi, Mahbub mengungkapkan kekesalannya karena dua kali tulisannya perihal Pramoedya ditolak media. “Orang yang seperti Pramoedya cuma satu dimusuhi terus-menerus. Padahal secara bahasa Pram mendidik kita,” katanya. Ketika tetralogi Pram dilarang oleh Kejaksaan Agung, ia bersikeras memberikan empat karya tersebut kepada Mendikbud Fuad Hasan.

Sebaliknya, Pram pun mengagumi Mahbub. Menurut Koesalah Toer dalam Pramoedya Ananta Toer dari Dekat Sekali, pada peluncuran buku Sketsa Kehidupan dan Surat-surat Pribadi Sang Pendekar Pena Mahbub Djunaidi tahun 1996, Pram yang biasanya enggan diminta sambutan, kali ini maju ke depan forum. Dikatakannya, di kala ia diserang dari segala penjuru, hanya Mahbub yang membela.

 

Sumber : historia.id

https://historia.id/amp/politik/articles/pendekar-pena-dari-betawi-PeRj6?__twitter_impression=true