Kebebasan beragama sudah berlangsung lama di Indonesia sejak Pancasila menjadi kesepakatan bersama dalam berbangsa. “Nilai-nilai Pancasila dan moderasi Islam yang mengakomodir budaya, menjadi bukti bahwa bangsa kita tidak alergi dengan kebebasan beragama,” ujar Anggia Ermarini, Ketum Pimpinan Pusat Fatayat Nahdlatul Ulama (PP Fatayat NU) dalam Konferensi Internasional Islam dan Kebebasan ke-7 pada Senin (11/11) di Hotel Double Tree, Cikini, Jakarta Pusat.

Konferensi ini mengusung tema “The Islamic Case for Religious Freedom”. Konferensi terselenggara atas kerjasama PP Fatayat NU dengan The International Institute of Advanced Islamic Studies (IAIS) Malaysia dan The Religious Freedom Institute (RFI) Amerika Serikat.

“Fatayat NU dalam usianya hampir 70 tahun, telah mendorong kebebasan beragama melalui isu-isu perempuan ; kami bekerjasama sangat erat dengan perempuan lintas agama, dan juga dengan minoritas; ahmadiyah dan syiah dalam isu kesehatan, keadilan gender, dan isu sosial lainnya”, ujar Anggia.

Perempuan yang juga Anggota DPR RI dari PKB ini mendukung isu kebebasan bergama, “kebebasan beragama, berekspresi dalam beragama itu sudah diatur dalam UUD 1945, juga dalam Al Quran dan dalam nilai-nilai ke NU an; tasamuh (toleran), tawazun (seimbang), ta’adul (berkeadilan)”, tambahnya.

Forum yang dihadiri oleh tidak hanya para akademisi, tetapi juga praktisi dari seluruh dunia ini akan membahas isu-isu kebebasan beragama dari berbagai negara.
“Kami berharap kita bisa maksimal berdiskusi, belajar dari pengalaman para pakar dan praktisi dari seluruh penjuru dunia terkait praktik kebebasan beragam,” kata Anggia.

Konferensi digelar selama dua hari penuh, 11-12 Nopember 2019 di Jakarta dengan menghadirkan para pembicara dari berbagai negara. Di antaranya Mohamed Azam Mohamed Adil (Malaysia), Ali Hassannia (Iran), Fida Ur Rahman dan Sumaira Batool (Pakistan), Amel Azzouz (Tunisia), Azeemah Saleem (India), AKM Iftekharul Islam (Bangladesh), dan masih banyak lagi.

Dari Indonesia hadir Ketum PBNU KH Said Aqil Siradj dan Anggia Ermarini (PP Fatayat NU), KH Nasarudin Umar (Imam Besar Masjid Istiqlal), dan Syamsul Asri (ICRS UGM).

“Tidak ada istilah ‘umat Islam’ dalam Alquran. Yang ada adalah ‘ummatan wasathon”. Nabi SAW membangun madinah juga bukan atas dasar agama maupun etnis. Karena itu, sangat berbahaya orang yang membela Islam dengan cara yang salah. Bahkan lebih berbahaya daripada orang yang memusuhi Islam,” ujar KH Said Aqil.

Terkait Ahmadiyah, KH Said menekankan agar ada keterbukaan dari kalangan Ahmadiyah. “Kita bisa sholat di masjid Ahmadiyah, begitu juga sebaliknya. Selama ini kita melihat Ahmadiyah masih tertutup. Saya tidak membahas teologi, tapi mari saling mu’asyaroh bil ma’ruf,” kata KH Said Aqil.

Merespon isu pemurtadan, pimpinan puncak ormas terbesar dunia ini mengatakan jika orang pindah agama secara individual tidak jadi soal. “Yang bermasalah itu kalau sudah menjadi gerakan, seperti yang pernah terjadi di era Abu Bakar As-Shiddiq,” lanjut KH Said.