Jakarta — Pengasuh Pesantren Luhur Al-Tsaqafah Ciganjur, Jakarta Selatan, KH Said Aqil Siroj mengisahkan kenangan saat mendapat didikan dari ayahnya, KH Aqil Siroj, di Majelis Tarbiyatul Mubtadi’ien (sekarang Pesantren KHAS Kempek Cirebon, Jawa Barat). Menurutnya, sang ayah dulu mendidiknya dengan tegas dan tidak membedakan dirinya dengan santri ayahnya yang lain.

Hal itu dia sampaikan dalam tayangan video podcast di kanal YouTube Pesantren KHAS Kempek Cirebon, Jawa Barat, dilansir NU Online, Kamis (27/1/2022).

 

Nah, dari sejak kecil saya diperlakukan seperti santri (pada umumnya). Jadi, kalau tidak bisa ya dibentak-bentak, dipukul, tidak melihat sebagai anak. Bahkan ketika ngaji ada rasa takut karena (merasa) di hadapan guru, bukan di hadapan ayah,” kenang Kiai Said.

Berkat dari ketegasan sang ayah, lanjut  Kiai Said, dirinya bisa mencintai ilmu, meski awalnya menuntut ilmu berdasarkan paksaan.

 

Dari kecintaan pada ilmu itulah, Kiai Said  mengaku bahwa dirinya bisa sukses dalam mendalami berbagai cabang ilmu agama, bahkan pada mata pelajaran di luar kurikulum sekalipun. Berangkat dari itu, dia berpesan kepada para pelajar agar menanamkan cinta kepada ilmu supaya bisa maksimal selama proses belajar.

 

“Harus betul-betul hubbul ‘ilm wal ‘irfan (mencintai ilmu dan pengetahuan). Jadi bukan hanya untuk lulus, tapi ada rasa mencintai ilmu pengetahuan,” ucap kelahiran 3 Juli 1953 itu.

Keberhasilan sang ayah dalam menanamkan semangat belajar pada putranya dibuktikan dengan semangat Kiai Said untuk melanjutkan ke Pesantren Lirboyo, Jawa Timur. Di Lirboyo, Kiai Said langsung masuk tingkat aliyah sampai tamat.

Kendati selama di Lirboyo merasa lebih leluasa karena tidak lagi dipantau langsung oleh sang ayah, Kiai Said mengaku sejak di pesantren itulah ia memperoleh banyak ilmu agama yang cukup untuk membaca berbagai literatur keilmuan berbahasa Arab.

 

“Di Lirboyo, saya merasa tekanan dari orang tua berkurang, kadang main-main, sering bolos, nonton film India. (Demikian) karena keamanan Lirboyo tidak mungkin menghukum anak kiai, kecuali Kiai Anwar, Kiai Aziz Mansur yang marah-marah sama saya ketika ketahuan nonton bioskop itu,” kenang Kiai Said.

 

Setelah tamat dari Lirboyo, Kiai Said melanjutkan ke Pesantren Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta di bawah asuhan KH Ali Ma’shum sambil kuliah di UIN Sunan Kalijaga. Di bawah didikan Kiai Ma’shum itulah Kiai Said mulai mempelajari kitab-kitab yang belum dikenalnya saat di pesantren sebelumnya.

“Kiai Ali Ma’shum membuka wawasan saya, memberikan pemahaman Islam bukan hanya fiqih, ushul fiqih, nahwu, sharaf, atau tafsir, bukan, tapi semua peradaban, semua hasil khazanah ulama cendekiawan masa lalu,” terangnya.

“Ada sejarah, ada filsafat, ada sastra. Di sana saya kenal buku-buku seperti Fajrul Islam tentang sejarah peradaban Islam,” imbuh Kiai Said.

Berikutnya, Kiai Said melanjutkan pendidikan ke Universitas King Abdul Aziz di Makkah dengan mengambil jurusan ushuluddin dan dakwah. Atas kecintaan pada ilmu pengetahuan, Kiai Said tidak hanya mendalami ilmu di jurusannya saja, tetapi juga fokus-fokus ilmu lain seperti sejarah dan sastra bahasa Arab.

“Sejarah bukan jurusan saya, melainkan ushuluddin, tapi baca (sejarah) sendiri, seperti Al-Kamil fit Tarikh. Sastra juga bukan jurusan saya, tapi saya membaca sastra,” ujarnya.

Sebagaimana diketahui, S1 Kiai Said di Universitas King Abdul Aziz dengan jurusan Ushuluddin dan Dakwah (lulus 1982), S2 di Universitas Ummul Qura dengan jurusan Perbandingan Agama (lulus 1987), dan S3 di  University of Ummul Qura, jurusan Aqidah dan Filsafat Islam (lulus 1994).

 

 

 

Sumber :

https://www.nu.or.id/nasional/kiai-said-kenang-ketegasan-sang-ayah-dalam-mendidik-ZP15d