Prof. Dr. Azyumardi Azra. Sumber foto: Wikipedia.
BULETINNUSANTARA.COM, JAKARTA – Ada kutipan menarik di Gedung Fakultas Adab dan Humaniora (FAH) UIN Syarif Hidyatullah Ciputat, tentang definisi Islam Nusantara. Kutipan tersebut berasal dari Profesor Azyumardi Azra, Guru Besar FAH UIN Syarif Hidayatullah, yang ditempel pihak fakultas di dinding sekitar tangga darurat tempat lalu lalang mahasiswa.
Definisi Islam Nusantara dari Azyumardi Azra itu disampaikan pada tahun 2015 lalu. Statemen doktor lulusan Columbia University AS ini digunakan pihak fakultas untuk mempromosikan misi FAH Menuju e-Faculty Berbasis Riset dan Berkarakter Islam Nusantara.
Berikut definisi Islam Nusantara menurut Azyumardi Azra, profesor kelahiran Lubuk Alung, Padang Pariaman, Sumatera Barat 63 tahun lalu itu:
“Islam Nusantara adalah Islam distingtif sebagai hasil interaksi, kontekstualisasi, indigenisasi, dan vernakularisasi Islam universal dengan realitas sosial, budaya, dan agama di Indonesia. Ortodoksi Islam Nusantara (kalam Asy’ari, fiqih mazhab Syafi’i, dan tasawuf Ghazali) menumbuhkan karakter wasathiyah yang moderat dan toleran. Islam Nusantara yang kaya akan warisan Islam (Islamic Legacy) menjadi harapan renaisans peradaban Islam global.” 
Sebelumnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumatera Barat menyatakan tidak membutuhkan konsep Islam Nusantara di Ranah Minang. Pernyataan yang berisi beberapa poin penolakan konsep Islam Nusantara tersebut tertuang dalam surat resmi tertanggal 21 Juli 2018 dan ditandatangani Ketua MUI Sumbar, Gusrizal Gazahar.
Dalam Surat Keputusan tersebut tertulis “MUI Sumbar dan MUI Kabupaten/Kota se-Sumbar menyatakan tanpa ada keraguan bahwa ‘Islam Nusantara’ dalam konsep atau definisi apapun tidak dibutuhkan di Ranah Minang (Sumbar). Bagi kami nama ‘Islam’ telah sempurna dan tidak perlu ditambah lagi dengan embel-embel apapun”.
Ada beberapa poin yang menjadi bahan pertimbangan MUI dibalik putusannya tersebut. Salah satunya, MUI Sumbar menganggap jika label ‘Nusantara’ untuk Islam hanya berpotensi mengkotak-kotakkan umat Islam dan memunculkan pandangan negatif umat terhadap saudara muslim di wilayah lain.
Di poin lainnya, MUI Sumbar menjelaskan, jika yang dimaksudkan Islam Nusantara adalah Islam yang toleran, tidak radikal, kemudian memperhadapkan dengan kondisi Timur Tengah saat ini, maka sikap tersebut mengandung tuduhan terhadap ajaran Islam sebagai pemicu lahirnya sikap radikal dan tindakan kekerasan.
“Ini merupakan pendzaliman terhadap Islam dan pandangan yang dangkal terhadap konfllik Timur Tengah,” tegas surat tersebut.
Selain itu, jika Islam Nusantara dipahami dengan dakwah yang mengacu pada ajaran dan pendekatan Wali Songo di Pulau Jawa, MUI Sumbar menganggap hal itu bisa berdampak serius akan keutuhan Bangsa. Pasalnya, di berbagai daerah dalam wilayah NKRI, ada para ulama dengan pendekatan dan ajaran yang bisa berbeda dengan Wali Songo.
“Memasukkan pendekatan dan ajaran Wali Songo ke seluruh Indonesia, berarti mengecilkan peran ulama yang menyebarkan Islam di daerah lain yang memiliki karakter beragam,” tulis MUI Sumbar.
Tak hanya itu, MUI Sumbar juga menganggap jika pendekatan kultural yang menjadi ciri khas Islam Nusantara maka itu bukanlah monopoli ‘Islam Nusantara’, melainkan telah menjadi suatu karakter umum di berbagai wilayah dunia karena sikap Islam terhadap tradisi dan budaya, telah tertuang dalam kajian Ushul al-Fiqh secara terang.
Bahkan, jajaran ulama Sumbar di Ranah Minang yang telah menjalani pendekatan kultural telah sampai pada komitmen bersama melahirkan Sumpah Sati Bukit Marapalam dengan falsafahnya yang dipegang oleh masyarakat Minang sampai hari ini, yakni Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah, Syara’ Mangato, Adat Mamakai.
“Walaupun telah sampai pada titik kebersamaan tersebut namun tak seorang pun ulama Minang menambah label Islam dengan Islam Minang,” sambung surat tersebut. [Fathoni]

 

Sumber: NU Online