Islam adalah agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang dimanifestasikan lewat akhlak atau perilaku pemeluknya. Betapa banyak bukti bahwa lewat ajaran Islam kita telah dapat banyak manfaat mulai dari rasa tenang dan nyaman sebagai pemeluk juga terhadap pemeluk agama lainnya di luar Islam. Bukan hanya kepada manusia tetapi lebih meluas kepada seluruh makhluk hingga semesta. Firman Allah SWT dalam QS. Al-Anbiya 107:

“Dan Kami tidak mengutus engkau, wahai Muhammad, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam.”

Merujuk daripada kitab tafsir Al-nukat Wal ‘Uyun Karya Imam Mawardi terkait firman Allah di atas jelas bahwa sebagai umat baginda Nabi Muhammad Saw, kita haruslah mengedepankan akhlak, adab atau budi pekerti jika kita berbicara dan bersikap mengatasnamakan Islam. Sebab esensi dari Islam itu sendiri adalah selamat menyelamatkan bukan justru sebaliknya ketika orang merasa takut ketika ada sebagian individu atau kelompok menggunakan narasi bela agama, jihad dan sejenisnya malah menggunakan cacian, ungkapan dengan diksi kasar serta intonasi nada tinggi sungguh mereka bukan bagian dari apa yang Rasulullah ajarkan kepada keluarga, sahabat dan seluruh umat Islam.

Dalam sebuah hadis Riwayat Imam Bukhari dikatakan, “Maukah kamu aku beritahu tentang penduduk neraka? Mereka adalah orang-orang keras lagi kasar, tamak lagi rakus, dan sombong.”

Terlebih khsusnya di Indonesia yang sangat kaya akan keberagaman etnis, suku dan budaya hingga agamanya yang terbukti bahwa para ulama dimasa silam telah berhasil membumikan ajaran Islam lewat akhlaqul karimah dengan budi pekerti yang luhur sesuai dengan ajaran syariat Islam telah membantu dan menjadi kunci keberhasilan para wali, ulama dan kiai dalam berdakwah menyebarkan ajaran Agama Islam yang dapat diterima baik dari semua elemen masyarakat baik dari seorang hamba hingga para raja-raja di Nusantara.

Solahuddin Wahid pernah berujar, “Saya setuju bahwa umat Islam mungkin sudah lupa bagaimana etika cara berdakwah yang baik. Berdakwah yang tidak menyerang orang lain. Berdakwah dengan baik atau dengan Mauizah al-hasanah.”

Alhabib Jindan Bin Novel mengatakan, “Seseorang yang ilmunya sempit maka amalannya akan sempit, Jika amalannya sempit maka hatinya akan sempit dan tak kenal lagi makna toleransi.”

Nilai-nilai luhur yang diwariskan Nabi Muhammad dan warisan para pendiri bangsa ini harus terus menerus dijaga dan dipelihara. Warisan itu merupakan bekal dan kompas dalam menahkodai dan menjalankan segala amanah yang diberikan rakyat. Setiap manusia harus berpedoman pada nilai-nilai kebaikan agar jalan dan alur kehidupannya tetap baik.

Sebaliknya, nilai-nilai keburukan dan prilaku yang tidak selaras dengan spirit keagamaan dan kenegaraan disebabkan oleh seseorang yang tidak mampu menyerap ajaran agama dan panduang bernegara dengan baik. Ketidakmampuan itu melahirkan seseorang keluar dari rel kehidupan. Dalam konteks inilah, Nabi selalu berpesan agar setiap Muslim berpegang pada dua pusaka. Dua pusaka ini pun harus dilengkapi dengan sirah Nabawiyah. Seseorang yang lepas dari pembacaan terhadap sirah nabawiyah akan melahirkan cara pandang hitam-putih dan hahal-haram semata. Fikih oriented harus digabungkan dengan sirah nabawaiyah dan sirah ulama-ulama Nusantara.

Dengan demikian, kita semuanya bisa menjadi warga negara yang baik sekaligus beragama yang baik. Sebab, segala bentuk kekerasan dan penyelewengan dari konsensus bersama, seperti mengganti sistem dan dasar negara adalah sesuatu yang tidak diperbolehkan. Kaidah agama dalam bernegara telah jelas, “Al-Ijtihad la yunqhodu bi al-Ijtihad”; konsensus yang telah disepakati tidak bisa dibatalkan oleh konsensus baru yang tidak belum disepakati bersama.

Disinilah menjadi seorang Muslim yang menganut agama Islam harus mampu merealisasikan dan membawa ajaran dan warisan Nabi dengan penuh keindahan dan harus berorientasi pada kemanusiaan. Dimana ayat-ayat langit harus mendarat di bumi dengan penuh kebijaksanaan.

Dodo Baidlowi