Jakarta, Buletinnusantara – Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menolak menjadi eksekutor hukuman kebiri yang rencananya akan jadi hukuman tambahan bagi pelaku kejahatan seksual pada anak. Mereka menilai, hukuman kebiri melanggar Sumpah Dokter dan Kode Etik Kedokteran Indonesia.
Menurut Ketua IDI Ilham Oetama Marsis, mereka tidak menentang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) tentang tambahan hukuman kebiri. IDI mendukung kebijakan untuk memberikan hukuman seberat-beratnya kepada pelaku kekerasan seksual pada anak.
Namun, mereka menolak dilibatkan dalam pelaksanaan hukuman kebiri. “Eksekutor penyuntikan janganlah seorang dokter,” ujar Ilham, Kamis (9/10/2016)
Ketua Majelis Kehormatan Etika (MKEK) dr Priyo Sidipratomo mengatakan, dokter tak akan menggunakan pengetahuannya untuk hal yang bertentangan dengan perikemanusiaan. Hal itu melanggar sumpah dokter. Kalau melanggar, dikeluarkan dari organisasi pofesi.
“Dokter bertugas hanya untuk kepentingan kemanusiaan”, kata Priyo. Bahkan dalam kondisi perang pun, dokter harus menyelamatkan manusia. “Sekalipun itu musuh”, ujar Priyo
Namun pernyataan tersebut disayangkan Wakil Ketua MPR Hidayat Nurwahid. Alasannya, kejahatan seksual semakin berkembang masif dan memasuki dalam tahap darurat.
“Harusnya teman-teman IDI itu empati dan bijak dalam menentukan sikapnya,” ujar Hidayat Nur Wahid di Rumah Dinas Komplek Sekretariat Negara, Jakarta, Sabtu (11/6/2016).
Menurutnya IDI yang ditunjuk sebagai eksekutor harus berkoordinasi dengan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) supaya mendapat solusi terbaik.
“Oke lah mereka (IDI) ada kode etik dokter tapi harusnya mereka memahami kejahatan yang sudah luar biasa ini. Masa iya dokter rela melihat kondisi seperti ini,” ucapnya.
Sementara itu, Kejaksaan Agung (Kejakgung) tidak mempermasalahkan sikap Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang menolak menjadi eksekutor hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual.
“IDI itu kan koordinasi profesi saja, kita tentunya koordinasi dengan Menteri Kesehatan (Menkes), saya pikir Menkes sudah tahu apa yang mereka lakukan,” kata Jaksa Agung HM Prasetyo di Jakarta, Jumat (10/6).
Prasetyo menilai tidak semua dokter akan menolak perintah undang-undang itu, dan memahami betapa pentingnya hukuman tambahan tersebut.
“Ini mendesak dan darurat dimana ada kekosongan hukuman, makanya dikeluarkan Perppu,” ujarnya.
Ia mengingatkan bagi yang menolak hukuman kebiri itu jangan hanya melihat dari sisi pelakunya saja, namun juga harus memikirkan para korbannya. Tentunya penerbitan Perppu itu ada latar belakang penyebabnya karena kejahatan seksual sudah masif dan luar biasa, katanya.
Terlebih lagi, kata dia, kejadian kejahatan seksual itu sudah terjadi berulang kali baik dilakukan oleh anak-anak maupun orang dewasa. “Masa kita biarkan begitu saja,” tegasnya.