BULETIN NUSANTARA, JAKARTA – Senin (27/9), Komisi Bahtsul Masail Waqi’iyah memutuskan status hukum daging berbasis sel adalah haram. Putusan ini dibacakan oleh Ketua Komisi Waqi’iyah, KH Mujib Qulyubi pada sidang pleno Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama dan Konferensi Besar (Konbes) Nahdlatul Ulama 2021, Ahad (26/9/2021).
Kiai Mujib menjabarkan dua pembahasan terkait daging berbasis sel tersebut. Pertama, mengenai status hukum sel hewan seperti sapi yang diambil tanpa melakukan proses penyembelihan. Terakhir, hukum memakan daging berbasis sel tersebut.
“Daging hasil pengembangbiakan dari sel yang diambil dari hewan hidup seperti ayam dan sapi hukumnya najis dan haram dikonsumsi. Sebab, bagian yang dipisahkan dari hewan yang masih hidup maka statusnya sebagaimana bangkainya. Sehingga, hukum dagingnya mengikuti status hukum selnya,” terang Kiai Mujib.
Dijelaskan, seseorang boleh mengonsumsi hewan apabila hewan tersebut telah melalui proses penyembelihan (sapi, kambing, dan ayam) dan tanpa proses penyembelihan (ikan).
Sementara itu, syarat tersebut tidak didapati pada proses pembuatan daging yang diambil dari sel hewan. Pasalnya, dalam proses pembuatannya, sel yang akan dikembangkan diambil dari beberapa bagaian hewan seperti sumsum, sel otot, bahkan dari bakal janin (zigot) pasca pembuahan sperma dan sel telur 5-7 hari. Sel tersebut lalu diurai dan diambil sel intinya untuk dibiakkan melalui teknik rekayasa jaringan.
Menurut fikih Islam, hal tersebut justru membuat satu sel yang diambil tadi masuk ke dalam kategori maitah (bangkai) yang secara hukum adalah najis dan haram dikonsumsi. Dalam keterangan Imam An-Nawawi, dijelaskan bahwa perkara yang dipisahkan atau dikeluarkan dari hewan yang masih hidup dalam bentuk benda yang sudah mengalami proses metabolisme (istihalah) dihukumi najis, selain susu sperma, dan zigot.
Proses berikutnya, sel yang sudah diambil lalu ditempatkan dalam media dan diberi nutrisi dan faktor pertumbuhan. Tahap ini melibatkan beberapa zat kimia dan peralatan, di antaranya cairan yang terbuat dari serum darah dan bahkan gelatin ikut terlibat di dalamnya. Pada awalnya, sel tidak terlihat secara kasat mata. Kemudian, berubah menjadi semakin banyak hingga trilyunan sel membentuk sepotong daging. Menilik proses tersebut dapat disimpulkan, pertama, daging hasil pembiakan sel dari hewan yang halal dikonsumsi tersebut belum mengalami proses penyembelihan secara syar’i. Kedua, proses pembuatan daging berbasis sel ini melibatkan bahan-bahan yang najis semisal serum darah dan gelatin.
Ketiga, belum diyakini adanya proses tertentu yang merubah status najis menjadi suci atau merubah hukum haram dikonsumsi menjadi halal dikonsumsi. Dengan demikian, status hukum memakan daging berbasis sel tersebut adalah sejalan dengan penjelasan dari hukum penciptaan daging selnya. Maka, dapat dikatakan bahwa memakan daging berbasis sel hukumnya haram. (nuo/hud)