Jakarta, Buletinnusantara.com – Kementerian Agama dan Komisi VIII DPR RI diminta menetapkan Biaya Pengelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) dengan sebaik-baiknya dengan menjaga prinsip keadilan. Panitia kerja (panja) BPIH harus melihat dengan cermat kebutuhan riil biaya haji di lapangan.

Saat ini, panja sudah menetapkan besaran BPIH Rp 34,9 juta. Komisioner Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI) Syamsul Maarif mengatakan angka tersebut tidaklah realistis. “Tidak realistis. Ada potensi menggunakan uang hasil keuntungan calon jamaah haji lain yang belum berangkat,” kata dia kepada Republika.co.id, Jumat (24/3).

BPIH, kata dia, harus disesuaikan dengan keuntungan bagi hasil jamaah sesuai masa tunggu. Misalnya, jamaah yang berangkat haji tahun ini telah menunggu selama tujuh hingga sepuluh tahun. Maka Kemenag dan DPR harus memprosentasekan berapa keuntungan bagi hasil dari dana yang telah mereka setorkan di awal. “Jangan sampai terjadi potensi jamaah yang berangkat menggunakan keuntungan bagi hasil jamaah yang belum berangkat,” ujar Syamsul.

Dia menghitung, biaya yang dibutuhkan untuk berangkat haji Rp 60 juta. Apabila calon jamaah menyetor Rp 20 hingga Rp 25 juta (pada tujuh atau sepuluh tahun lalu), maka perkiraan keuntungan bagi hasil yang diperoleh sekitar Rp 10 juta, sehingga seharusnya membayar Rp 50 juta. Namun, berdasarkan tahun lalu, pemerintah memberikan bagi hasil bagi jamaah yang akan berangkat Rp 26 juta. Syamsul melihat angka tersebut berlebihan. Dia menduga bisa jadi angka tersebut mengmbil bagi hasil keuntungan calon jamaah lain yang belum berangkat. “Bantu boleh, tapi jangan dihabiskan, karena itu uang jamaah yang belum berangkat,” ujarnya. Menurut dia,

“Kalau Rp 50 juta, keberatan atau tidak, harus realistis, kecuali pemerintah mau memakai duit sendiri untuk menambahkan (subsidi) biaya haji,” kata dia. (jun)