*Berebut Menjadi Makmum*
Foto suasana khusyuk KH. Said Aqil Siroj sedang ziarah & duduk bersimpuh di hadapan makam para kiai pendiri pesantren Lirboyo ini saya ambil langsung dari kamera ponsel pada tanggal 7 Oktober 2021 lalu. Saat itu saya turut mendampingi lawatan silaturrahim ke para kiai sepuh: mulai dari Tuan Guru Turmudzi Lombok, Habib Luthfi bin Yahya, Mbah Dimyati Rois, KH. Anwar Mansur dan KH. Huda Djazuli, Ploso. Selain silaturrahim, kegiatan lainnya adalah ziarah ke makam Mbah Hasyim Asyari, Mbah Wahab Hasbullah, Mbah Bisri Syansuri, Gus Dur dan makam para kiai & muassis jamiyyah Nahdlatul Ulama.
“Mereka tidak mati, mereka selalu hidup. Karena ilmu yang mereka ajarkan menjadi jalan kebaikan, menjadi cahaya yang menghidupkan” demikian ujar Kiai Said.
Di tengah hiruk-pikuk menjelang Muktamar NU ke 34 di Lampung, sejumlah kalangan meminta kesediaan Kiai Said untuk memimpin NU kembali pada periode yang ketiga. Meski jika dilihat dari AD ART NU sangat dimungkinkan bagi Kiai Said untuk maju kembali, namun beliau menyampaikan bahwa dirinya masih harus mendengar dawuh dari para kiai sepuh.
“Yang memilih ketum PBNU itu langsung dari langit. Doa & dawuh dari para kiai sepuh adalah panduan saya,” ujar Kiai Said. Persis sama dengan pernyataan Maulana Habib Luthfi bin Yahya, bahwa kepemimpinan di NU adalah keputusan langit.
Suatu hari, saya diminta untuk mewakili Kiai Said dalam wawancara live di salah satu TV nasional. Kiai Said menolak hadir mengingat topiknya adalah tentang “bursa ketua umum PBNU”. Dalam pandangannya, harus dikuatkan kembali bahwa dalam konteks kepemimpinan di NU ada adab yang harus dijaga. Seperti halnya jika kita melihat para kiai yang hendak sholat, selalu saling mempersilahkan untuk menjadi imam. Dahulukan adab di atas ilmu. Pelajaran tentang akhlaqul karimah dari para kiai NU: berebut menjadi makmum.
Ketika didapuk untuk memberi penjelasan oleh Romo KH. Anwar Mansur dalam majelis pengajian Al Hikam di Pesantren Lirboyo, Kiai Said dengan sangat memukau menjelaskan
bahwa semua manusia pada dasarnya memiliki keinginan, namun sering sekali kita tidak dapat membedakan mana keinginan yang baik dan buruk.
Itulah yang disebut hawa nafsu yang terdiri dari beberapa jenis. Pertama nafsu ghodlobiyah, adalah nafsu yang mendorong manusia kepada ambisi. Namun jika ambisi ini dilakukan dengan niat baik, dengan cara yang baik, dan tujuan baik, maka nafsu ghodlobiyah justru akan menjadi suaru kebaikan yakni menjadi himmah, menjadi cita-cita yang mulia. Bahwa tujuan akhirnya adalah menuju apa yang disebut Li ila’i kalimatillah.
Sehingga segala cita-cita jika dilakukan dengan cara, niat dan tujuan baik merupakan himmah.
Nabi Muhammad Saw adalah contoh terbaik sebagai tokoh zaman yang memiliki himmah sangat besar.
Kedua adalah nafsu syahwatiyah, merupakan hasrat yang mendorong kepada kesenangan. Namun jika kita dapat mengerjakannya untuk sesuatu yang bermanfaat besar bagi kemnuaian, maka nafsu syahwatiyah akan berubah menjadi azimmah. Menjadi suatu kebaikan & kemaslahatan.
Demikinlah kerendahan hati Kiai Said, yang dalam sepuluh tahun memimpin NU telah melahirkan banyak _legacy_,karya besar. Berdirinya 36 Universitas NU, Rumah Sakit NU, program penguatan basis ekonomi di kalangan pesantren malalui Lazisnu dengan capaian spektakuler (akumultif mencapai 1,6 T pada tahun 2021), transformaai digital melaui super aplikasi KARTANU & NU online menjadi kebanggaan warga nahdliyyin.
Harapan kedepan adalah NU harus menjadi organisasi yang mandiri, kuat & kokoh sebagai pilar pemersatu bangsa. Penyangga utama Pancasila & NKRI di bumi nusantara. Menjadi pusat peradaban khazanah Islam Nusantara yang disegani seluruh dunia.
“Sebagai organisasinya para kiai, NU masih harus dipimpin oleh “kasepuhan,” demoliamo saya mencatat dengan baik suara dari para kiai sepuh. Maka kehadiran Kiai Said, yang 13 tahun lamanya di Mekah menempuh jalan sunyi, di masa mendatang adalah melanjutkan ikhtiar penting yang telah dirintisnya dalam dua periode terakhir: melahirkan Generasi Baru NU, kader-kader NU masa depan menyongsong abad kedua NU.
اللّهمّ صلّى وسلّم وبارك عليه
Allahumma sholli wasallim wabarik ‘alaih.
Cirebon, 12 Oktober 2021
Helmy Faishal Zaini