Bebas dari tahanan tidak menjadikan mantan narapidana kasus terorisme serta-merta hidup tenang. Membangun ulang kehidupan, termasuk menata perekonomian, tidak mudah dilakukan. Terlebih ‘bisikan’ untuk kembali berbuat teror setiap saat membayangi.
Peluh masih membasahi wajah Yusuf Aderima dan Kisworo, 2 mantan narapidana terorisme pada kasus berbeda. Keduanya baru saja usai bekerja bakti membersihkan sejengkal tanah kosong dengan empang kumuh di sekitarnya di salah satu desa di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Lokasi itu akan disulapnya menjadi pemancingan dan sarana wisata murah meriah bagi warga masyarakat, sekaligus sarana mata pencaharian.
“Ini idenya Mas Kisworo yang memang asli orang sini,” kata Yusuf saat berbincang dengan Buletin Nusantara awal November lalu.
Yusuf menambahkan, apa yang dilakukannya hanya sebatas pendampingan terhadap mantan narapidana kasus terorisme lainnya. Sejengkal tahah yang akan disulap jadi lokasi wisata itu merupakan aset Pemerintah Kabupaten Brebes. “Istilahnya, saya dan kawan-kawan di yayasan membantu mendorong agar perizinan dari gubernur mudah, sementara Mas Kisworo dan kawan-kawan di sini yang berurusan dengan Pemkab (Brebes),” jelasnya.
Kisworo sendiri juga mengakui jika rencana yang saat ini dieksekusi merupakan gagasannya. Hal itu diakuinya bermula dari kegelisahan melihat tanah kosong di daerah tempat tinggalnya, namun tidak dimanfaatkan dengan baik.
“Kebetulan warga di sini kalau mau berwisata harus keluar desa, bahkan keluar kecamatan. Kenapa di sini tidak dibuat wahana sendiri, toh ada empang, bisa dibuat mancing dan dikasih bebek-bebekan (perahu kayuh, Red.),” ungkap Kisworo.
Membangun Ulang Perekonomian
Ditangkap dan dipidana karena kasus terorisme, diakui oleh Yusuf menghancurkan kehidupan semua orang yang mengalaminya. Tak terkecuali perekonomian yang sudah dibangun. Situasi semakin susah karena status narapidana terorisme menambah beban, di mana relasi-relasi yang sebelumnya dimiliki menjauh dengan sendirinya.
“Saya sendiri misalnya. Begitu bebas mau membangun usaha dengan harta warisan keluarga saja, harus menyelesaikan urusan administrasi yang tidak mudah,” ungkap Yusuf.
Pria yang terlahir dengan nama Mahmudi Hariono ini menambahkan, dari situasi yang dialaminya, kerja keras dengan mengesampingkan gengsi menjadi kata kunci bagi setiap narapidana kasus terorisme untuk bisa kembali eksis. Ia mengaku, sebelum akhirnya terlibat pada jaringan terorisme perekonomiannya sudah cukup mapan, hasil dari mengelola sebuah bengkel sepeda motor di Surabaya.
“Tapi ketika saya bebas saya harus memulainya lagi dari nol. Saya jadi tukang cuci piring di sebuah rumah makan dekat Polres Solo,” ujar Yusuf. Pengalaman keras yang dialaminya itulah yang kini diajarkannya kepada sesama mantan narapidana terorisme agar bisa bertahan hidup. “Termasuk ke Mas Kisworo, saya katakan kita tidak boleh hanya menunggu bantuan. Jika mau dibantu (dimudahkan perizinan) tunjukkan kita kerja keras mengerjakannya,” tambahnya.
Membangun ulang perekonomian, masih kata Yusuf, bagi mantan narapidana terorisme tidak semata-mata untuk bisa bertahan hidup. Diakuinya, dengan sibuk membangun ulang ekonomi mereka bisa teralihkan dari keinginan kembali masuk ke jaringan teror.
“Di Jawa Tengah ini saja, masih banyak pelaku aktif dan mereka memang terus membayangi kami. Untuk bisa menolak mereka, ya kami harus sibuk,” jelas Yusuf.
Masih besarnya ajakan berbuat teror, lanjut Yusuf, menjadi salah satu alasannya membentuk sebuah yayasan dengan sesama mantan narapidana terorisme lainnya. “Jadi kami ini tarik-tarikan, kuat-kuatan mana yang bisa menarik mantan narapidana,” jelasnya. Kelompok yang mengajak kembali berbuat teror mengiming-imingi dengan dalih kita sebagai masyarakat yang sudah terlanjur rusak, sementara kami mengingatkan bahwa kita bisa kembali diterima dengan baik oleh masyarakat asalkan juga berbuat kebaikan. “Makanya salah satu yang kami upayakan adalah modal usaha bagi mantan narapidana terorisme,” ujarnya.
Pria yang kini mengelola usaha jasa laundry dan rental kendaraan bermotor itu juga mengatakan, beruntung sejauh ini penerimaan masyarakat dan pemerintah cukup baik terhadap yayasan yang dibentuknya. Berbagai pihak sudah diajak bekerjasama, baik swasta maupun miliki pemerintah. “Bulan lalu misalnya, sebuah bank mempercayai kami untuk mendapatkan bantuan modal usaha. Kami distribusikan rata ke anggota, masing-masing dapat lima belas juta (rupiah) untuk tambahan modal,” pungkasnya.
Program Deradikalisasi
Deputi Bidang Pencegahan, Perlindungan, dan Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Mayor Jenderal TNI Hendri Paruhuman Lubis, menyebut pemberdayaan ekonomi merupakan bagian dari program deradikalisasi yang dijalankan pihaknya. Aktifitas itu juga diakui sebagai bagian dari bentuk soft approach penanggulangan terorisme.
“Alhamdulillah sejauh ini hasilnya baik. Setidaknya bisa dilihat dari kecilnya angka mantan narapidana yang kembali ke jaringannya,” kata Hendri.
Selain dalam bentuk pemberian bantuan permodalan, baik yang diambilkan secara langsung dari anggaran yang dimiliki BNPT maupun mengerjasamakannya dengan pihak lain, deradikalisasi dalam bentuk permudahan modal usaha cukup efektif menahan laju pertambahan jumlah pelaku.
Sementara bentuk dedadikalisasi lain yang juga dijalankan adalah pelatihan public speaking kepada para mantan teroris. Program ini diakui juga berjalan sukses, di mana sejumlah mantan narapidana saat ini bisa diberdayakan untuk membantu upaya pencegahan. “Ada di antara mantan napiter yang sudah dilatih ngomong. Sekarang mereka banyak juga jadi narasumner di kegiatan-kegiatan kami,” pungkasnya. [juh/shk]