Bekasi, Salah satu tradisi intelektual masyarakat pesantren dan Nahdlatul Ulama adalah bahtsul masail. Tradisi ini berkembang pesat di beberapa daerah Jawa, Kalimantan, Sumatera dan lainnya namun belum berkembang secara maksimal di daerah perkotaan sebab tradisi tersebut umumnya ada di Jawa.
Hal itu diakui oleh intelektual muda Nahdlatul Ulama Ulil Abshar Abdalla saat ditemui NU Online di sela-sela kegiatan bahtsul masail di Pondok Pesantren Motivasi Indonesia Burangkeng, Kecamatan Setu, Kabupaten Bekasi, Sabtu (22/1/2022).
Karenanya ia mengapresiasi kegiatan bahtsul masail yang diselenggarakan di daerah perkotaan contohnya Kabupaten Bekasi. Dia juga berharap kota-kota disekitar DKI Jakarta bisa menginisiasi adanya forum bahtsul masail.
“Kalau ini bisa dikembangkan terus akan menjawab kekosongan fatwa dikalangan muslim perkotaan karena selama ini bahtsul masail di lembaga lain pendekatannya berbeda. NU punya kekhasan dalam menjawab fatwa yakni menyelenggarakan kegiatan dari level bawah, prosesnya yang berjenjang dan lebih demokratis bahkan semua orang bisa terlibat,” paparnya.
“Artinya, yang terlibat di dalam memutuskan sesuatu tidak hanya elit tapi kaum alit. Terlibat ini menurut saya kekhasan NU yang tidak ada di lembaga fatwa lain. Jadi ulama ditingkat desa pun terlibat itu yang tidak ada di MUI dan lembaga lain hanya di NU,” sambungnya.
Namun demikian, Gus Ulil mengingatkan pentingnya modifikasi dalam penyelenggaraan bahtsul masail di daerah perkotaan sebab tantangan yang dihadapi masyarakat perkotaan berbeda dengan daerah lain tanpa meninggalkan rujukkan kitab lama.
“Tapi bagi saya tetap pondasi tradisi bahtsul masail ini harus menggunakan kitab-kitab syafiiyyah atau mazhab Syafii yang lama sebelum menggunakan kitab-kitab baru. Menurut saya menjaga kitab-kitab lama sebagai rujukan itu penting,” tutur pengampu ngaji Ihya Ulumiddin ini.
Kalau dalam mazhab syafii, terang Gus Ulil, pondasi utamanya yakni kitab Minhajut Thalibin karangan Imam Nawawi dari Damaskus yang hidup pada abad ke-13 Masehi. Menurutnya, kitab tersebut penting karena melahirkan banyak kitab lain. Meski begitu kitab tradisi syafiiyah ini harus dilengkapi dengan pendekatan baru.
“Jadi sesuai dengan semboyan NU menjaga tradisi lama yang baik sekaligus mengadopsi, mengambil pendekatan, perspektif, paradigma baru melengkapi yang lama. Yang lama tidak ditinggalkan tetapi melengkapi. Nah, menjaga tradisi kitab penting kalau NU tidak ada, ya hilang,” sambungnya.
Gus Ulil berpandangan dengan cara seperti itu Islam akan terus relevan, bisa menjawab tantangan zaman, dan diterima semua pihak. “Saya yakin kitab tradisional yang ada dalam tradisi NU ini bisa menjawab segala masalah asal kita kreatif. Contohnya hari ini, kita bisa menjawab satu masalah soal pembangunan rumah dibantaran sungai dengan rujukan lama dari kitab syafiiyah,” paparnya.
Sumber : nu online