Jokowi-Maruf Amin Menjalani Pemeriksaan Kesehatan. Foto: kompas.tv
Oleh: Wahyu Noerhadi
Sebetulnya saya pun tak paham, mengapa judul di atas itu muncul. Ya, hanya terlintas begitu saja di batok kepala saya.
Kepala kita mungkin menerka-nerka, mencoba menjawab, kenapa Jokowi harus memilih Kiai Ma’ruf Amin? Karena Jokowi butuh sosok yang punya basis massa Islam yang besar; untuk menepis anggapan kalau Jokowi dianggap tidak dekat ulama, mendzalimi umat Islam? Atau karena memang ada kontrak politik? Dan seterusnya dan sebagainya, kita hanya bisa berasumsi. Sebetulnya apa sih motif Jokowi menggandeng ulama?
Sebetulnya kalimat yang mirip dengan pertanyaan itu awalnya terlontar dari seorang akademisi yang jadi pembicara pada sebuah diskusi bertajuk Apakah Tesis Sekularisme Berakhir? Agama, Ranah Publik dan Kemaslahatan Umum yang digelar di Auditorium Nurcholis Madjid Universitas Paramadina, Jakarta, Rabu (29/8) malam.
Acara yang digelar dalam rangka memperingati Haul ke-13 Cak Nur tersebut, menghadirkan pembicara Prof Dr Bahtiar Effendy (Guru Besar Fisip UIN Syarif Hidayatullah) dan Pipip A Rifai Hasan, Ph D (Direktur Program Islamic Studies Paramadina).
Di awal pembahasan, istri dari almarhum Cak Nur, Omi Komaria Madjid menyampaikan mukadimah, di antaranya–yang saya catat–kalau mahasiswa itu jangan hanya text book; kita jangan menuhankan partai Islam; bahwa pemilih partai Islam tahun 70-an adalah orang-orang sekuler.
Lanjut ke pembahasan, saya tangkap bahwa saat ini di Indonesia dogma agama (Islam) kembali bersentuhan dengan politik, seperti bisa juga kita lihat di Barat, sebelum era Renaissance.
Kemudian sebuah pertanyaan, apakah industri Islam atau semua yang berlabel Syariah–seperti bank syariah, hotel syar’i, jilbab syar’i, wisata dan kosmetik halal–merupakan bagian dari dimensi Islam; bisakah dilihat dari aspek historis Islam?
Selanjutnya, Pak Pipip menyampaikan bahwa Jurgen Habermas pun pernah bilang bahwa orang-orang (mungkin di Barat) mulai meninggalkan sekularisme. Sekarang zamannya post-sekularisme, post-islamisme. Namun, kita tahu, di sisi lain dogma agama semakin menguat dan mencengkeram ranah sosial-politik. Tidak hanya di Indonesia. Pada debat Capres antara Donald Trump dan Hillary Clinton dibumbui dengan bahasan agama. Dan Israel pun mulai meninggalkan konsep nation state.
Tapi, Habermas keukeuh, sekularisme di Eropa sangatlah kuat. Buktinya di Francis, simbol-simbol agama sulit kita temui di ranah publik. Bukan, bukan hilangnya simbol agama, tetapi ada privatisasi (atau secara ekstrem ada marginalisasi) agama. Mungkin seperti zamannya Pak Harto yang tidak membolehkan para siswi untuk berkerudung.
Habermas menekankan, istilah “sekular” itu untuk budaya Barat. Dan sekularisasi yang dimaksud oleh Cak Nur, menurut Prof Bahtiar Effendy, adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya. Bukan memisahkan negara dan agama, atau agama dan politik. Keduanya bukan dipisahkan, tapi ditempatkan pada tempatnya; bukan pemisahan, tapi pembedaan. Misal, partai politik harus ditempatkan pada hal yang profan, tidak pada tempat yang suci.
Itulah yang dimaksud oleh Cak Nur, yang disalah pahami banyak orang. Masyumi saat itu paling sering mengkritik pemikiran Cak Nur. Ya, mungkin kritik itu juga dilontarkan ketika jargon ‘Islam Yes, Partai Islam No’ disampaikan oleh Cak Nur di sebuah pidato, awal tahun 70-an. Saat itu situasinya memang tahun politik.
Banyak tokoh mengemukakan, jargon ‘Islam Yes, Partai Islam No’ relevan hingga sekarang.
Prof Bahtiar menuturkan, tesisnya mengenai sekularisasi dan jargonnya yang mengundang banyak kontra itu, Cak Nur bermaksud menegaskan bahwa komitmen seorang Muslim harus diarahkan kepada (nilai, moral, etika) Islam, bukan kepada institusi atau lembaga apalagi partai Islam. Sebab bukan orientasi spiritual yang ada dalam institusi, walaupun itu (institusi) punya merk Islam.
Terakhir, sebetulnya, apa sih problem dan tantangan kita hari ini? Prof Bahtiar menjelaskan, saat ini kita kehilangan common good, kebaikan bersama atau kemaslahatan umum; tergerusnya lingkaran kebajikan.
Seorang akademisi asal Amrik, di Stanford University–yang saya lupa namanya–pernah bilang: individualisme yang berlebihan lah salah satu penyebab tergerusnya lingkaran kebajikan.
Oh, lingkaran kebajikan juga boleh jadi disebabkan oleh rasa keterancaman yang kemudian mengimplikasikan orang-orang untuk membuat tembok, dinding pemisah identitas. Meski demikian, jika kita merujuk pada pemikiran Sigmund Freud, sebenarnya orang-orang itu belum masuk pada tataran rasa terancam, melainkan rasa cemas.
Konklusinya, apakah kita bisa mengubah keadaan ini? Akademisi Amrik yang saya bilang di atas itu punya buku–yang kalau tidak keliru judulnya The Common Good–menjelaskan bahwa problem lingkaran kabajikan adalah hal yang biasa.
Maka, solusinya pun biasa, dan bagi saya itu jawaban formalis, yang meliputi: bagaimana kita menghormati hukum–sedangkan kita meragukan penegak hukum; tersedianya pemimpin yang amanah, dan; adanya penghargaan atas perbuatan baik dan sangsi atas perbuatan buruk.
Prof Bahtiar, yang ternyata seorang santri dan pernah mengeyam bangku sekolah di Amerika, sempat bercerita bahwa tidak ada orang Indonesia yang berani mengatakan Indonesia akan dijadikan negara sekular, selain Gus Dur. Ya, hanya Gus Dur yang berani mengatakannya di depan umum, ketika Gus Dur berada di Singapura dalam sebuah acara.
Ucapan Gus Dur itu dicatat langsung oleh Bahtiar dan ia tuliskan di koran. Bagi Bahtiar, ucapan Gus Dur itu tidak sungguh-sungguh. Itu hanya strategi Gus Dur untuk meredam pemilih muda di Singapura karena saking maraknya partai-partai Islam di rentang tahun 1998-2000. Cerdas sekali.
Jadi, kenapa sih Jokowi pilih Kiai Ma’ruf Amin sebagai Cawapresnya?
Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Universitas Mercu Buana Jurusan Ilmu Komunikasi.