Jakarta, Buletinnusantara – Menteri Ketenagakerjaan RI Ida Fauziyah menegaskan bahwa negara Indonesia memiliki komitmen dalam menghapus pekerja anak. Wujud komitmen tersebut ditandai dengan meratifikasi Konvensi ILO Nomor 138 mengenai usia minimum untuk diperbolehkan bekerja dengan UU Nomor 20 Tahun 1999, serta memasukkan substansi teknis yang ada dalam Konvensi ILO tersebut dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan.
Kemnaker, kata Menaker Ida, telah berupaya menghapus pekerja anak sejak 2008, yakni dengan melakukan penarikan pekerja anak dari bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. Jumlah pekerja anak yang telah ditarik dari bentuk-bentuk pekerjaan terburuk anak tersebut hingga kini sebanyak 134.456 orang pekerja anak, dari jumlah pekerja anak yang ada sekitar 1,7 juta anak, sisa dari sekitar 4 juta anak.
“Kemnaker sendiri menargetkan penarikan pekerja anak untuk tahun 2020 sebanyak 9 ribu pekerja anak,” kata Menaker Ida saat membuka acara Webinar Nasional bertajuk “Tantangan dan Strategi Penanggulangan Pekerja Anak secara Kolektif dan Berkelanjutan”, Jumat (12/6). Webinar ini diselenggarakan dalam rangka memperingati Hari Dunia Menentang Pekerja Anak.
Menurutnya, dalam mewujudkan penghapusan pekerja anak harus dilakukan secara bersama-sama. Anak-anak harus tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental, sosial, dan intelektual.
“Ini merupakan gerakan bersama yang harus dilaksanakan secara terkoordinasi melibatkan semua pihak: pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, temen-temen serikat pekerja/buruh, pengusaha, untuk bersama-sama melakukan upaya penanggulangan pekerja anak,” katanya.
Ia menyadari bahwa tidak semua anak memperoleh kesempatan hak-haknya secara penuh serta menikmati kesempatan kebutuhan mereka khas sebagai anak, terutama anak-anak yang terlahir dari keluarga miskin atau rumah tangga sangat miskin. Ia menyayangkan anak-anak yang sejak dini telah dilibatkan untuk membantu ekonomi keluarganya.
“Ketidakberdayaan ekonomi orang tua dalam memenuhi kebutuhan keluarga memaksa anak-anak terlibat dalam pekerjaan yang membahayakan atau bahkan terjerumus dalam bentuk-betuk pekerjaan terburuk untuk anak yang sangat merugikan keselamatan, kesehatan, dan tumbuh kembang anak,” katanya.
Lebih lanjut ia menyatakan, dalam kondisi Pandemi Covid-19 ini, anak-anak juga merupakan kelompok yang terdampak, yang pada akhirnya memaksa anak-anak mengambil bagian membantu memberikan nafkah kepada keluarganya.
Di antara dampak Covid-19 ialah lesunya ekonomi. Sekitar 3 juta pekerja ter-PHK. Hal itu disebutnya secara langsung atau tidak akan berdampak pada berbertambahnya pekerja anak di Indonesia. “Di masa pandemi ini, saya mengajak dan memperkuat komitmen bersama untuk membebaskan anak-anak kita belenggu pekerjaan yang belum menjadi tanggung jawab mereka,” jelasnya.
Sementara Direktur Pengawasan Norma Kerja Perempuan dan Anak (PNKPA) Binwasnaker & K3, Kemnaker, Asep Gunawan menyatakan bahwa pihaknya
sudah melakukan percepatan penanggulangan bebas pekerja anak di antaranya dengan cara bersinergi dengan lintas kementerian dan lembaga.
“Pertama, membuat grand desain dari mulai tahun 2018. Kita mencoba bekerja sama dengan lintas kementerian: Kemsos, Kemendikbud, Kemenag, Kemenpora, atau KPPA. Juga di lingkungan internal Kementerian Ketenagakerjaan dalam rangka menarik mengurangi pekerja anak,” kata Asep.
(aris.pj)